Surga Kecil Itu Bernama Lasem

 

Oleh: Shalihah S. Prabarani

---

Love is A Four Letter-nya Jason Mraz masih mengalun ketika bis yang saya tumpangi memasuki terminal Lasem. Saya menutup buku bersampul merah berjudul “Akulturasi Lintas Zaman” yang beberapa jam ini menemani perjalanan. Beberapa bagiannya telah saya tandai sebagai pengingat tujuan ke kota ini, meliput sejarah perdagangan opium di masa lalu.

 

Matahari belum begitu tinggi ketika langkah saya tiba di depan sebuah rumah besar berpagar besi tinggi. Atapnya berbentuk ekor walet, gaya khas langgam arsitektur Cina yang melambangkan kesejahteraan. Pada bagian teras yang berlantai terakota berjajar pot tanaman hias berdaun hijau segar. Ujung sayap atap yang membentang menaungi bagian beranda ini, meneduhkan.

 

Bersama Mbak Yunita dari komunitas Kesengsem Lasem, saya mengamati bangunan yang menjadi legenda kota ini. Lawang Ombo, yang berarti “pintu besar” dalam bahasa Jawa. Penamaan itu rasanya tak berlebihan. Kusen pintunya yang berbahan jati memang cukup lebar, kira-kira seukuran tiga meter. Begitu juga dengan ukuran kusen jendela. Berbeda sekali dengan arsitektur rumah-rumah klasik lain di kota ini.

 

“Jalan Dasun ini terkenal sebagai heritage street di sini, Mbak,” jelas Mbak Yunita menjawab ketakjuban saya. “Banyak bangunan klasik di sepanjang jalan ini,” tambahnya.

 

Saya jadi teringat ketika berkunjung ke Malaka, beberapa tahun silam. Eksotisme yang kental terasa sekali. Bangunan besar ini bersebelahan dengan klenteng Cu An Kiong, rumah ibadah tertua di Lasem. Di sekitarnya masih banyak dijumpai rumah klasik serupa. Menurut referensi yang saya baca, daerah ini diduga merupakan tapak permukiman awal Cina Lasem.

 

Saya berkenalan dengan Pak Lan, penjaga Lawang Ombo. Lelaki paruh baya ini dengan ramah menjelaskan bahwa rumah ini dibangun pada akhir abad ke-18. Pemiliknya dahulu adalah seorang pejabat rendah asal Cina bernama Lim Cui Soon. Pak Lan menunjukkan makam beliau, di halaman utama samping rumah.

 

“Beliau ini dulu berlayar dari provinsi Shandong, Cina, Anaknya, Lim Ki Siong, Kapitan Cina pertama di sini. 1837 kalau enggak salah,” lanjutnya.


Wah, pasti Pak Lim ini kaya sekali, pikir saya. Zaman dahulu jabatan Kapitan Cina khusus diberikan oleh Belanda kepada para saudagar kaya untuk mengendalikan urusan perdagangan.

 

Begitu memasuki pintu utama, hidung saya disergap aroma hio yang menyeruak. Kami disambut sebuah altar perabuan berhiaskan lampu warna-warni. Ruangannya tak terlalu besar. Beberapa perabotan kuno berwarna gelap seperti almari tampak berdiri kokoh. Saya menggamit tangan Mbak Yunita ketika kuduk saya terasa meremang. Ah, belum-belum sudah ketakutan, deh, saya.

 

Sambil berkeliling, saya mencoret-coret buku kecil, membuat sketsa denah. Bangunan seluas lima ribu meter persegi ini terdiri dari rumah induk bagian depan, rumah tinggal di bagian belakang, dan gudang. Tak terbayang seperti apa rasanya tinggal di rumah kuno sebesar ini. Aduh, bulu kuduk saya langsung berdiri dibuatnya. Pak Lan seperti melihat reaksi saya. Dengan raut jenaka dia menjelaskan bahwa rumah ini memang terkenal mistis.

 

“Banyak cerita seram memang, Mbak. Katanya pernah ada yang denger suara kuda meringkik di tengah malam. Lalu suara lain-lain juga. Kalo saya, sih, memang belum pernah denger atau liat apa-apa.” 


Tuh, kan, jadi merinding.

 

Pak Lan kemudian mengajak kami ke ruangan lain. Pada lantai terakota tampak lubang berdiameter kurang lebih satu meter. Saya melongokkan kepala untuk melihat kedalamannya. Mbak Yunita tertawa. 

“Itu sumur, Mbak,” ujarnya.

Saya menelengkan kepala.

“Iya, ini sumur legendaris yang Mbak cari.”

Ah, saya langsung mengerti.

 

Di dasar sumur ini konon terdapat sebuat terowongan yang menghubungkan Lawang Ombo ke pelabuhan Lasem. Dahulu, terowongan ini sengaja dibuat untuk menyelundupkan candu ketika perdagangan opium mencapai puncak keemasan di pesisir utara Jawa pada awal abad ke-19. Opium menjadi konsumsi umum pada masa itu, mulai ningrat sampai rakyat jelata.

 

Pada masa lalu, pemerintah VOC melakukan sejumlah aturan yang menekan warga Tionghoa. Aturan yang cukup rasis ini didasari kecemburuan melihat tingkat kesejahteraan etnis minoritas yang melampaui warga Belanda. Salah satunya dengan mengisolasi mereka untuk tidak membaur dengan masyarakat setempat. Hal itu membuat warga etnis Tionghoa hanya berkumpul dengan sesamanya, sehingga lahirlah anggapan bahwa mereka adalah bangsa yang eksklusif. Tak merasa cukup, status rasial juga mengakibatkan mereka dikenakan diskriminasi atas besaran pajak yang harus dibayar, hukum yang diberlakukan, bahkan hingga di mana mereka boleh tinggal. VOC juga melarang warga etnis ini memiliki tanah pertanian, sehingga mereka kemudian memilih opsi perniagaan.

 

“Zaman itu, para etnis Tionghoa berjaya sekali lho, Mbak. Mereka dagang opium, sampai punya rumah gedong dan perahu-perahu.”

 

Pak Lan menjelaskan sambil memperlihatkan foto-foto lama keluarga. Wah, tak heran kalau banyak sekali saudagar Cina kaya yang tinggal di wilayah pesisir utara Jawa di masa VOC itu. Tekanan yang luar biasa dari pemerintah VOC rupanya tak lantas membuat kegigihan mereka luntur.

 

Bisnis ini mengalami kemunduran ketika opium di Singapura dijual dengan harga lebih murah. Pemerintah kolonial juga memberlakukan sistem yang semakin ketat untuk mengendalikan harga dan pasokan. Nah, dari sinilah kemudian penyelundupan opium dimulai. Opium-opium gelap mulai mendarat di sepanjang pantai utara Jawa, kemudian merayap diam-diam di sepanjang jaringan rute-rute sungai. Pasokan terbesar kala itu mendarat di pesisir Jepara-Rembang, dari Juwana hingga Lasem. Cara ini dinilai sangat menjanjikan, sehingga banyak nelayan dan pemilik kapal yang kemudian banting kemudi. Mungkin inilah sebabnya pada masa lalu Juwana-Rembang dikenal sebagai “corong opium”.

 

Setengah berjongkok di tepi sumur, Pak Lan menjelaskan lagi. 

“Dulu sumur ini menjadi lalu lintas penyelundupan, Mbak. Dari pelabuhan Lasem, opium itu dibawa diam-diam melalui jalur sungai Lasem lalu diselundupkan melalui sumur ini. Rumah ini dulu menjadi salah satu tempat penimbunan opium gelap itu, sebelum diedarkan ke berbagai tempat di Pulau Jawa.”

 

Di depan Lawang Ombo memang mengalir sungai yang disebut-sebut Pak Lan tadi. Saya membayangkan situasi pada masa itu. Berpeti-peti opium diangkut dari pelabuhan diam-diam, lalu masuk ke rumah ini lewat lubang sekecil itu.

Saya berpikir keras, kemudian bertanya ke Pak Lan. 

“Memangnya muat, Pak?”

 

“Wah, dulu kan ini lebarnya tiga meter dan dalamnya satu setengah meter, Mbak, lebarnya. Sejak air laut pasang dan masuk ke rumah, lubang ini diperkecil menjadi satu meter.”

Saya mengangguk-angguk. 

Tentu saja, siapa juga yang bisa muat di lubang sesempit itu? Ha-ha

 

Bangunan klasik yang kokoh ini menyimpan banyak cerita masa lalu. Di satu sisi, ia terkenal sebagai Lawang Ombo, rumah pedagang Cina kaya raya pada masanya. Di sisi lain, ia adalah Omah Candu, bangunan yang menyimpan kisah panjang perdagangan opium yang pernah dilegalkan pada era kolonial.

---

Foto Pengisap Opium pada 1906, dokumentasi KITLV


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer