Petan
Oleh: Shalihah S Prabarani
Lima hari sudah saya berada di Kediri, meliput Festival Panji Nusantara, menyambung resminya cerita rakyat ini mendapat pengakuan dari UNESCO pada Oktober 2017 lalu. Awal ketertarikan terhadap cerita Panji dimulai ketika saya menghadiri acara ASEAN Cultural Week yang diselenggarakan di Balai Sarbini bulan lalu. Pada acara gala dinner, setiap negara mempersembahkan karya pertunjukan budayanya masing-masing. Thailand, waktu itu, menggelar pertunjukan wayang yang sontak membuat saya terkagum-kagum. Bahan dan bentuk yang dipakai untuk menggambarkan para tokohnya memang berbeda dengan negeri kita. Namun, mereka mengusung cerita yang rasanya begitu familier, cerita Panji.
Malam itu, melalui percakapan santai dengan para delegasi ASEAN, saya baru tahu bahwa cerita Panji, atau Raden Inu Kertapati, ternyata tak hanya lestari di Indonesia. Panji hidup sebagai kisah Inao di Thailand, Eynao di Kamboja, dan Enaung di Myanmar. Bagi saya yang terbilang awam ini, tentu hal-hal seperti ini membuat penasaran. Bagaimana cerita rakyat sederhana kita bisa menyebar secara sporadis dan diadaptasi oleh negeri-negeri tetangga?
Maka di sinilah saya, di tanah kelahiran cerita Panji, mencari jawaban. Merekam pengetahuan dalam festival yang mengusung semboyan Rwa Bhineda Nunggal Rasa, dua beda dalam satu rasa. Dilandasi oleh semangat itu, sebanyak enam delegasi dari Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, juga Jawa Timur, hadir menampilkan pertunjukan kesenian yang bersumber dari legenda Panji. Mata saya tak berkedip sedikitpun ketika satu per satu unjuk kebolehan di atas panggung. Bahkan ketika pertunjukan telah usai, saya masih bergeming oleh pukau pesonanya.
---
Mobil yang kami tumpangi melaju di jalanan Dusun Surawana, Desa Canggu, sekitar lima kilometer dari Kampung Inggris Pare. Pada acara festival kemarin saya mewawancarai Mas Novi, salah satu panitia penyelenggara. Rupanya, anak muda ini juga didapuk menjadi ketua komunitas pelestari sejarah dan budaya Kediri, atau lebih populer dengan sebutan Komunitas Pasak. Darinya, saya mendapatkan banyak data tentang cerita Panji.
“Kalau mbaknya bener-bener penasaran dengan Panji Asmarabangun ini, kalau mau besok kami anter ke Candi Surawana, enggak jauh dari sini. Nanti saya tunjukkin apa keistimewaan candi ini dengan cerita Panji,” ucapnya ramah.
Hari masih belum begitu terik ketika kami sampai. Bangunan candi yang dimaksud terlihat mungil dari pinggir jalan. Namun, setelah saya berjalan mendekat, rupanya bangunan ini berukuran cukup besar. Mata saya menyapu keseluruhan area bangunan yang cukup luas. Bangunan candi ini menghadap ke barat, berupa susunan batu andesit. Seperti sesosok tua yang layu, ia terduduk dengan separuh tubuh hancur dan tersisa bagian kaki saja.
Mas Novi mengajak saya ke salah satu sudut candi. Mata saya tak lepas dari pahatan-pahatan relief yang memenuhi sekeliling dinding candi. Guratannya begitu rapi, walaupun beberapa di antaranya sudah sulit untuk diamati karena aus.
“Relief yang Mbak lihat di candi ini menggambarkan lakon cerita yang di naskah cerita Panji, di antaranya cerita Sri Tanjung, Tantri Kamandaka, dan Arjunawiwaha.”
Badannya beringsut ke dinding candi yang terletak di bagian belakang. Saya mengikuti langkahnya. Ia menjelaskan bahwa keunikan candi ini dibanding candi lainnya adalah pola pembacaan relief yang tidak runut. Relief candi lain umumnya dimulai dari pintu masuk candi, kemudian melingkar searah jarum jam menuju dinding bagian belakang. Uniknya, relief Arjunawiwaha di candi ini justru dipahatkan pada bagian belakang kemudian melingkar berlawanan dengan arah jarum jam, dan berakhir pada bagian depan sisi selatan.
Pada bagian lain dinding candi, Mas Novi menunjuk sebuah relief yang menggambarkan sesosok lelaki dan perempuan. Ia menyebut bahwa lelaki itu bernama Sidapaksa, suami Sri Tanjung. Menurutnya, kisah Sri Tanjung merupakan gambaran perjuangan putera mahkota kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun, untuk menemukan kembali kekasihnya yang hilang, Galuh Candrakirana, putri kerajaan Kadiri.
Perjalanan panjangnya hingga ke negeri-negeri seberang itu diceritakan kembali melalui lakon-lakon legenda lokal sejenis, yang kemudian dijahit menjadi satu kesatuan utuh manuskrip yang disebut sebagai cerita Panji. Mungkin itulah sebabnya negara lain juga mengenal kisah Panji dalam versinya masing-masing, sebagai salah satu bentuk shared-culture.
Saya memerhatikan banyak relief berbentuk binatang yang dipahatkan pada sisi selatan kaki candi, diantaranya buaya dan kerbau, juga relief ular dan katak.
“Ini cerita Panji juga, Mas?”
“Oh iya, selain cerita Panji, relief Candi Surawana juga menggambarkan cerita fabel yang ada di kidung Tantri dalam manuskrip sastra kuno Pancatantra dari India, Mbak.”
Saya berdecak kagum, untuk kesekian kalinya. Lengkap sekali ragam kisah dongeng dalam satu candi ini, pikir saya.
Nama Surawana disebut-sebut dalam naskah Negarakertagama dengan nama kunonya, Surabhana atau Visnubhuvanapura. Di dalam kitab gubahan masa kejayaan Majapahit itu disebutkan Hayam Wuruk pernah bermalam di Surawana dalam perjalanannya dari Blitar menuju ibukota.
“Wah, kalau rombongan kerajaan pernah mampir ke sini, berarti wilayah ini dulu makmur sekali, ya, Mas?”
“Nah, tepat sekali, Mbak. Arkeolog juga menduga begitu. Perlu persediaan pangan yang cukup untuk menjamu rombongan kerajaan, yang menjadi penanda kemakmuran desa ini.”
Jemari saya menunjuk kepada satu relief di salah satu panil yang cukup menggelitik. Relief itu menggambarkan dua sosok perempuan sedang duduk dengan salah satu memunggungi lainnya. Tampak keduanya duduk di bawah pepohonan rindang. Menilik dari model pakaian sederhana yang dikenakan, sepertinya kedua sosok ini bukan dari kalangan bangsawan. Yang menarik, tangan salah satu perempuan itu tampak memegangi kepala perempuan yang duduk di depannya.
“Ini apa, Mas?”
Mas Novi mendekatkan wajahnya ke dinding panil.
“Mereka berdua ini lagi petan, Mbak. Nyari kutu.”
Hah?
Pemandu saya ini menjelaskan bahwa jari kanan si perempuan itu memegang semacam tongkat kecil berujung runcing untuk menyingkap rambut dan mencari kutu di sela-selanya, sedangkan jari lainnya tampak siaga menangkap kutu yang berhasil ditemukan.
“Ini beneran lho, Mbak. Pak Dwi Cahyono, arkeolog yang juga dosen di UNM, pernah nulis tentang ini. Berarti ini ilmiah.”
Ha-ha. Ada-ada saja, ya.
Matahari mulai merangkak naik dan menebar terik. Sambil duduk selonjor di bawah pohon di samping candi, Mas Novi menjelaskan bahwa relief pada Candi Surawana juga menggambarkan realita kehidupan rakyat kecil di pedesaan masa itu, termasuk tradisi petan tadi. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tradisi mencari kutu sudah ada setidaknya sejak zaman Majapahit.
“Termasuk juga tradisi bergosip ya, Mas? Apalah artinya petan kalau enggak dibumbui aneka gosip seru. Ya, 'kan?”
Kami lantas tertawa terbahak-bahak.
Negeriku ini kaya betul. Begitu banyak nilai universal yang hidup dalam kekayaan budayanya yang beragam dan lestari. Nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi terus hidup mengakar hingga kini.
---
Hak cipta foto: pameranperpusnas.wixsite.com
Komentar
Posting Komentar