Geliat Inoken di Kampung Bosnik

Oleh: Shalihah S. Prabarani


---

“Tak banyak yang masih pakai serat ganemo untuk buat inoken, Ade.”

Suara Mama Maria memecah hening. Saya letakkan jalinan serat kayu yang telah terpintal rapi ke lantai kayu, menengok ke arahnya. Perempuan paruh baya berkulit gelap itu balik menatap saya dengan matanya yang keruh kecokelatan, hampir tertawa. Ia baru saja menangkap basah saya yang sedang setengah melamun. Geliginya yang bersemu merah akibat sirih pinang terlihat bagus.

“Orang sekarang lebih suka pakai bahan sintetis untuk buat inoken. Lebih murah. Tak perlu repot pula mesti mencari bahan ganemo yang semakin sulit di mana-mana.”

Ganemo, orang Jakarta menyebutnya melinjo. Di daerah ini daun melinjo muda dimasak tumis dengan bunga pepaya dan cabai, lalu dihidangkan bersama ikan kuah kuning dan papeda. Sedap sekali rasanya. Tadi malam, Mama Yulita menjamu kami dengan menu khas Papua itu. Enak dan mengenyangkan. Perut rasanya mau meletus. Ketika menyatakan sudah tak sanggup lagi makan, kami kemudian menyesap kopi lokal sambil mendengarkan cerita Pace Paskal, salah seorang penggerak komunitas pengrajin di Biak. Sepertinya beliau ini memang berbakat membadut. Tergelak-gelak tawa kami bersahutan dibuatnya.

Seminggu sebelumnya, saya menerima surat penugasan dari kantor majalah tempat saya bekerja. Sebagai jurnalis majalah, saya sering ditugaskan untuk meliput konten berita yang terkait dengan isu sosial dan budaya. Asyik, bukan? Kali ini saya bertugas membuat liputan tentang noken Papua. Tas etnik khas tanah Papua yang resmi dinobatkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO pada 2012 lalu. Wah, pertama kali mendengar kalau saya akan ke Papua saja rasanya sudah kepingin melompat-lompat kegirangan.

Saya bertolak dari Jakarta menjelang tengah malam. Penerbangan kira-kira lima jam, lumayan untuk tidur-tidur ayam. Setibanya di Biak, saya disambut dengan ramah oleh perwakilan Dinas Kebudayaan Biak yang langsung membawa saya ke Kampung Bosnik. Jalanan menuju ke sana rupanya sudah cukup mulus. Jauh sekali dengan bayangan saya akan terguncang-guncang di mobil dengan perut kosong. Wah, Papua tahun berapa, nih, yang menjadi acuan saya? Ha-ha

Hari mulai beranjak terang ketika mobil yang saya tumpangi memasuki wilayah perkampungan yang terletak di Biak Timur ini. Di sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa papuani melintas. Mereka tampak sibuk dengan bayi di gendongan, dan noken yang digantung di dahi berisi kayu bakar dan hasil ladang. Saya membayangkan betapa tangguhnya mereka. Maksud saya, beban seberat itu digantung begitu saja di dahi. Apa mungkin karena mereka telah terbiasa?

Kata pemandu, ada sekitar dua puluh enam kampung di dalam wilayah Kabupaten Biak Numfor, salah satunya Kampung Bosnik. Permukiman yang tak terlalu padat, pikir saya. Saya nantinya akan tinggal di salah satu rumah penduduk. Mama Yulita namanya, ketua kelompok pengrajin noken. Beberapa lelaki yang sedang duduk santai mengobrol di depan rumah berdinding kayu dan beratap seng mengangguk ramah kepada saya. Kulit mereka legam mengilap, khas penduduk pantai. Kabar keindahan Pantai Bosnik telah sampai ke telinga saya, dan resmi pula masuk ke dalam daftar kunjung kali ini.

Memang hebat sekali kampung Bosnik ini. Di tengah derasnya arus modernisasi, dapat dikatakan bahwa kampung inilah salah satu daerah yang masih meneruskan tradisi pelestarian noken. Inoken, istilah masyarakat Biak untuk menyebut noken, dianggap tak sekadar sebagai atribut, melainkan juga identitas sebagai orang Papua.

----

Keesokan paginya, saya sudah duduk-duduk di teras rumah Mama Maria, mendengarnya bercerita. Saya cukup senang ketika menemukan bahwa inoken di Biak masih mudah dijumpai, Meskipun begitu, tradisi ini mulai pudar, bersama dengan mama-mama pengrajin lanjut usia.

“Anak-anak sini, tra banyak yang mau membuat noken, Ade. Kalaupun ada, mereka tra mau lagi memilin-milin benang. Maunya yang instan.”

Mama Maria menjelaskan bahwa sekarang sudah banyak pabrik benang sintetis berbahan poliester atau nilon yang berdiri di Biak. Bahan kulit kayu atau daun pandan sudah mulai ditinggalkan karena proses memilin benangnya dinilai cukup merepotkan. Terhitung kini hanya ada empat pengrajin noken daun pandan dan tiga pengrajin noken kulit kayu yang masih aktif di Kampung Bosnik.

Sambil bercerita tentang bagaimana sulitnya kerajinan noken bertahan, perhatian Mama Maria tak beralih dari inoken yang sedang digarapnya. Gurat keriput tampak jelas pada wajah dan jemarinya yang terlihat kukuh. Dengan terampil ia menjalin benang pintal yang dikaitkan satu demi satu dengan pahat kecil tajam dari bahan kayu keras atau tulang hewan. Bagian ujungnya berlubang diisi benang pintal yang terbuat dari serat ganemo.

Dari Mama Yulita saya tahu bahwa bahan benang pintal ganemo hanya bisa dijumpai di daerah Biak dan Nabire. Noken yang diproduksi oleh para papuani lainnya terbuat dari beragam bahan lainnya, misalnya kulit pohon manduam, kulit pohon nawa, kulit pohon anggrek hutan, atau rumput rawa. Seiring perkembangan zaman, pabrik-pabrik tak hanya menjual benang pintal berbahan nilon, wol, atau poliester sintetis, melainkan juga jarum yang dibuat dari bahan besi. Modernisasi, kalau kata orang Jakarta. Sepertinya, poin ini perlu untuk saya tuliskan dalam naskah saya nantinya.

---

Perjalanan saya kali ini ditutup dengan pelesiran ke Pantai Bosnik. Keindahannya benar-benar bukan sekadar isapan jempol belaka. Saya datang ke sana persis ketika semburat oranye keemasan matahari terbias di ufuk timur, sehingga belum banyak pengunjung ketika saya sampai. Kata Mama Yulita malah pantai ini memang biasanya tak banyak pengunjung, paling-paling, ya, turis seperti saya saja. Aduh, saya dibilang turis!

“Ade nan jang lupa datang lagi ke rumah e? Kitong suka e ko datang main deng kami. Jang lupa, e?”

“Aw! Mama jang sedih, nan sa datang lagi e. Sa kirim dulu ini laporan ke Jakarta, nan sa pi bertemu deng Mama lagi.”

Setengah tertawa saya rangkul lengan perempuan seumuran ibu saya ini erat-erat.


Ombak mengelus punggung kaki saya yang terbenam di pasir putih. Saya kembali berpaling menatap perempuan yang menjadi motor penyambung napas kelestarian noken di Biak ini.

Ia berucap dengan bibir bergetar, “Bantu kami menyuarakan inoken ini, yo, Ade. Harus ada yang melanjutkan ini tradisi, terus dan terus. Tra boleh berhenti. Trapapa lelah, tapi kitong tra boleh berhenti.”

Manik matanya mengembun ketika saya mengelus lengannya perlahan. Mata saya menatap jauh ke pasir putih dengan pepohonan kelapa yang berjajar di sepanjang bibir pantai. Saya tertegun. Indonesia ini begitu luas dan kaya, lantas kenapa hanya sedikit dari kita yang peduli pada kekayaan budaya negeri ini?

---
Hak cipta foto: Kalyana Shira Foundation (dari laman www.hot.detik.com)
Catatan kaki:
1. Ade = sebutan untuk seseorang yang berusia lebih muda. Adik.
2. Pace = ayah. Bapak. Sebutan untuk lelaki yang berusia lebih tua.
3. Mama Noken = sebutan untuk pengrajin noken perempuan di Papua.
4. “Ade nan jang lupa datang lagi ke rumah e? Kitong suka e ko datang main deng kami. Jang lupa, e?” = “Adik jangan lupa nanti datang lagi ke rumah, ya? Saya suka kamu datang mengunjungi kami. Jangan lupa, ya?”
5. “Aw! Mama jang sedih, nan sa datang lagi e. Sa kirim dulu ini laporan ke Jakarta, nan sa pi bertemu deng Mama lagi.” = “Aw! Mama jangan sedih, nanti saya datang lagi. Saya kirim dulu laporan ke Jakarta, nanti saya bertemu dengan Mama lagi.”
6. Tra = tidak
7. Trapapa = tidak apa-apa

Komentar

Postingan Populer