Jawara dari Tanah Flores
Oleh: Shalihah S. Prabarani
Perhelatan Indonesian Cupping Contest tahun ini ramai sekali. Saya dan Yasmin, kolega kantor saya, dengan susah payah berusaha mencapai stand kopi Manggarai yang dinobatkan sebagai pemenang. Rasa penasaran mendorong kami bertahan di antara antrian pengunjung lain yang mulai mengular panjang. Perjuangan yang cukup membuahkan hasil, kami berhasil mendapatkan masing-masing secangkir kecil kopi di tangan.
Barista stand kopi Manggarai tadi bilang bahwa menikmati kopi juga ada seninya. Kebanyakan orang meminum kopi dengan menyeruputnya. Entah siapa yang pertama kali memopulerkan, tetapi cara ini telah dianggap sebagai cara paling nikmat untuk menikmati kopi. Namun, ternyata ada cari lain yang jauh lebih baik.
Kata Mas Barista, sayangnya saya lupa menanyakan nama lelaki bermata teduh berusia awal tiga puluh tadi, pada prinsipnya kita harus memaksimalkan sensasi yang ditimbulkan oleh indera perasa dan penciuman kita. Kopi jangan diminum dengan cara diseruput begitu saja, melainkan dihirup dengan perlahan. Disesap, istilah kerennya. Ketika cairan kopi menyentuh bibir bawah, hirup aromanya sembari mengalirkan kopi ke mulut. Biarkan ia menyebar ke atas lidah kita, sedikit demi sedikit. Dengan cara ini kita mampu “mengenalkan” kopi ke setiap saraf pendeteksi rasa di dalam mulut, sekaligus mengirimkan aroma ke indera penciuman. Setiap data yang masuk akan diterima oleh otak, sehingga informasi lengkap tentang kopi yang kita minum berhasil didapatkan.
Saya coba meniru cara ini. Menghidu terlebih dahulu aroma kopi yang mengepul, kemudian menyesapnya perlahan. Aroma wangi menyeruak, awalnya tipis tetapi kemudian mulai terasa pekat. Tak lama kemudian lidah saya mengenali rasa asam, seperti ada nuansa lemon yang berdansa meliuk melekuk. Hmm, nikmat sekali. Seperti ini rupanya rasa kopi Manggarai.
“Rasanya kayak mint, ya. Aroma kopinya alus, enggak terlalu tajam.” Mata Yasmin mengerjap, berusaha mengenali rasa yang disesapnya. Berbeda dengan saya, Yasmin kebagian kopi robusta. Konon, cita rasa robusta manggarai yang cenderung halus membuatnya cocok untuk dicampur dengan bahan lain.
Walaupun bukan anak Indie, saya bisa dibilang jatuh cinta dengan kopi sejak berusia dini. Sepanjang ingatan saya tentang masa kecil, saya menjadi saksi kecintaan almarhum Bapak pada kopi. Ia membeli biji kopi dari para pedagang lokal. Biji-biji kopi itu kemudian disangrai di atas wajan tanah liat tebal di dapur kayu kami. Sesekali ia mengatur letak kayu bakar supaya api yang dihasilkan konstan, sembari mengaduk biji kopi. Aroma kopi sangrai akan memenuhi langit-langit, bercampur dengan asap kayu bakar kering. Bapak juga suka sekali mengoleskan cekakik, sisa kopi yang tertinggal di cangkir, pada ujung sebatang rokok yang kemudian diisapnya dalam-dalam. Terlihat begitu nikmat. Kenangan rumah masa kecil seperti ini selalu hadir kembali setiap saya menyesap kopi, sampai kini. Mungkin itu juga yang membuat saya menyukai kopi. Kenangan terhadap ayah, dan rumah kami.
Selesai menyesap kopi, Yasmin membuka laptop mininya, mengetik berita. Mata saya kembali memperhatikan stand kopi Manggarai yang masih ramai pengunjung. Sepanjang yang saya tahu, setidaknya ada dua daerah yang terkenal dengan produksi kopinya di Nusa Tenggara Timur, yaitu Bajawa dan Manggarai. Keduanya terletak di Pulau Flores, yang dalam bahasa Portugis berarti bunga. Tanah Flores yang terbentuk dari abu gunung berapi memang subur dan bagus untuk produksi kopi organik. Itu membuat rasa kopi Flores berbeda dengan daerah penghasil kopi lainnya.
Perkebunan kopi Manggarai tersebar di tiga daerah, yaitu Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Seperti daerah lain, kopi yang dihasilkan terdiri dari arabika dan robusta. Perbedaannya terletak pada rasanya. Seperti yang tadi saya dan Yasmin rasanya, arabika terasa asam dengan nuansa lemon, sedangkan robusta mengandung sensasi rasa mint. Saking istimewanya, bertahun-tahun lalu ritel kedai kopi dunia, Starbucks, mulai melirik kopi Flores yang dipanen setiap Juni hingga Agustus. Starbucks bekerjasama dengan petani kopi dan menyeleksi sendiri biji kopi terbaik yang dipilihnya.
“Done!” seru Yasmin sembari menutup laptop, lalu memasukkan ke dalam ransel hijau tosca. Tangannya meraih cangkir, menyesap sisa kopi yang telah dingin.
“Duh, gue pengen nyobain Gayo Wine tadi sebenernya. Sayang udah abis duluan,” sesalnya.
“Heh! Andai lo tadi enggak sok sibuk modusin Mas Barista di stand kopi Mamasa, pasti kita masih sempet fun cupping di stand Aceh, tau!” ucap saya sebal.
Yasmin menyibakkan rambut sepundaknya, lalu mengikatnya ekor kuda. Ia melirik ke arah saya, mencebik. “Alah, lo juga sama aja. Ngaku aja, deh,” jawabnya sambil tergelak.
Saya bersyukur dipasangkan dengan perempuan gila sepertinya untuk tugas liputan kali ini. Tahun lalu saya ditugaskan meliput festival kopi di Aceh, yang sialnya dipasangkan dengan kolega yang rupanya sama sekali tak menyukai kopi. Selain tak punya mitra bercerita, rasanya jadi seperti masuk ke restoran all you can eat bersama teman yang makannya sedikit. Rugi, pemirsa!
“Jadi, ke mana nih, kita abis ini?” Yasmin menatap saya dengan mata bulatnya.
“Mau ke Kampung Bena, enggak? Kita bisa jalan-jalan ke situs megalitikum di kampung adatnya. Selain itu, gue denger ada kedai kopi enak di sana. Kedai Moku, namanya,” jawab saya sambil mengedipkan mata.
“Deal!” jawabnya dalam hitungan detik.
Sepertinya, melakukan perjalanan dengan seorang teman yang tahu seninya jalan-jalan akan terasa jauh lebih mengasyikkan. Apakah kamu setuju?
---
Hak cipta foto: coffeeland.co.id
Komentar
Posting Komentar