Pis Bolong
Oleh: Shalihah S Prabarani
Sebuah tribute untuk mengenang mendiang guru saya, Pak Trigangga, pakar epigrafi Indonesia.
----
Sepuluh, rong puluh, telung puluh, patang puluh, seket. Istilah ini pasti sudah begitu familier di telinga orang Jawa. Namun, deretan angka ini terasa ganjil ketika tiba pada hitungan kelima puluh. Kenapa lima puluh disebut sebagai seket? Kenapa bukan limang puluh seperti sebutan deret sebelumnya? Dari mana asal usul kata seket itu?
Pak Trigangga, arkeolog Museum Nasional Indonesia, menjelaskan kepada saya suatu pagi dalam kunjungan saya ke museum itu. Ia menunjukkan saya bentuk-bentuk mata uang yang pada zaman dahulu disebut sebagai kepeng.
Sekumpulan uang kuno yang berasal dari masa Majapahit ini berbentuk koin bulat dengan lubang berbentuk persegi pada bagian tengahnya. Rata-rata pada permukaannya bergambar wayang, gunungan, pohon beringin, dan senjata semacam cakra. Mata uang terbitan kerajaan Majapahit ini mengadopsi bentuk uang dari Tiongkok. Bagian tengahnya sengaja dibuat berlubang karena mata uang jenis ini disimpan dalam bentuk ikatan. Tali ikatan umumnya terbuat dari kawat atau bahan organik dari tumbuhan. Satu ikatnya berisi lima puluh keping. Dari situlah istilah seket berasal. Satu ikat atau satu iket, yang dalam perjalanan evolusi bahasa kemudian berubah menjadi seket.
“Temuan mata uang Cina terbanyak berasal dari situs era Majapahit di Trowulan. Sampai sekarang sudah tercatat sebanyak 34.175 keping mata uang yang disimpan di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur. Temuannya bermacam-macam, dari mulai utuh, pecah, sampai beberapa di antaranya sudah mengalami patinasi sehingga sulit dikenali atributnya.”
Pak Gangga, demikian arkeolog ini dikenal, menjelaskan bahwa temuan mata uang ini menunjukkan adanya hubungan perdagangan antara Nusantara dengan Tiongkok yang cukup erat.
Hubungan dagang yang terjalin sejak abad V ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada puncak kejayaan Majapahit di abad kedua belas. Pada masa itu Majapahit telah mampu menyediakan komoditi dagang. Pedagang-pedagang asing itu mengadakan transaksi dengan menggunakan mata uang dari negerinya masing-masing. Membanjirnya beragam mata uang asing itu kemudan menginspirasi penguasa kerajaan untuk membuat mata uangnya sendiri. Itulah sebabnya mata uang kuno lokal kita, yang disebut gobog, memiliki kemiripan dengan mata uang asing lainnya.
Ia juga menjelaskan bahwa mata uang kepeng di Tiongkok dibuat dengan memakai teknik cetak dan teknik tempa. Selain itu juga ada teknik tempa mesin, sehingga hasil cetakan menjadi lebih rapi dibanding jika ditempa dengan palu. Ini salah satu sebab produk mata uang Tiongkok lebih rapi dan halus dibandingkan dengan mata uang gobog.
Saya memeriksa bentuk uang gobog itu, memang tampak kasar dan tak rapi pengerjaannya.
“Uang itu di zaman kakek buyut kita juga disebut sebagai pis bolong, Mbak.”
“Lucu amat namanya, Pak,” saya terkekeh mendengarnya.
“Pis berasal dari kata picis, yang artinya uang. Bolong, ya dari lubangnya itu. Kan, bolong,”
Saya tertawa mendengar gurauan arkeolog ini.
“Kalau di Bali, lain lagi, Mbak. Di sana disebut dengan pis kopong. Artinya kurang lebih sama,” jelasnya sembari menunjukkan bentuk-bentuk uang kepeng Bali.
Pak Trigangga menjelaskan bahwa uang kepeng mulai masuk ke Bali ketika negeri ini menjadi daerah taklukan Majapahit di bawah pasukan yang dipimpin Gajah Mada. Berbeda dengan Jawa, pis kopong masih terus dipakai sebagai alat tukar di Bali sampai 1930.
“Belanda saja waktu itu tak berdaya karena orang Bali ngotot mau tetap memakai pis kopong, dan bukan mata uang yang resmi dicetak dan diedarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,” sambungnya.
“Sekarang masih dipakai, Pak?”
“Sebagai alat tukar? Sudah enggak. Mata uang kepeng ini memang masih diproduksi sampai sekarang, tetapi cuma dipakai sebagai sesaji saja,” jawabnya.
Kami kemudian beranjak ke ruang pamer berikutnya. Suasana cukup lengang, kami bisa berbincang dengan leluasa. Kata Pak Gangga museum ini cenderung ramai di akhir pekan, sedangkan di hari biasa umumnya banyak kunjungan dari sekolah atau instansi.
Pada masa puncak kejayaan Majapahit, di abad kedua belas, bisa dikatakan bahwa sistem perputaran uang sudah semakin baik. Kronik-kronik kuno Tiongkok mencatat bahwa mata uang gobog dan kepeng tak hanya dipakai dalam transaksi dagang saja. Mata uang ini juga tercatat digunakan untuk membayar pajak, juga transaksi utang piutang.
“Lho, ada catatan utang juga, Pak, di masa lalu? Terheran-heran saya mendengar penjelasan beliau.
“Wah, iya dong. Bahkan, utang piutang itu tercatat di prasasti batu. Termasuk juga catatan utang-utang yang telah dibayar lunas. Nanti akan saya tunjukkan prasasti-prasasti itu.”
Saya tertawa terbahak-bahak. Benak saya membayangkan zaman dahulu orang membawa-bawa lempengan batu yang berisi catatan dan perjanjian utang-piutang. Beruntunglah kita hidup di zaman kini. Tak perlu repot-repot seperti itu. Apalagi sekarang ada sistem nontunai juga berkat kemudahan teknologi. Tak perlu memahat batu untuk mencatat utang yang sudah lunas. Aduhai, repotnya.
---
Komentar
Posting Komentar