Romansa Syiwagraha
Oleh: Shalihah S. Prabarani
----
Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya “The History of Java”, menuliskan penemuannya atas dua runtuhan benda-benda kuno yang disebutnya sebagai mahakarya agung. Tumpukan batu-batu berornamen relief yang indah itu dilaporkan penemuannya pada 1797, ketika Belanda membangun markas di Klaten. Lima belas tahun kemudian, Kolonel Co
llin Mackenzie dan Kolonel George Baker, ditugaskan untuk melakukan survey dan merekam data temuan itu sebanyak-banyaknya. Alfred Russel Wallace, dalam salah satu tulisannya, mengutip kesaksian Kapten Baker terhadap bangunan ini. Baker menyatakan bahwa seumur hidupnya baru sekali itu ia melihat contoh karya manusia yang sangat menakjubkan. Pengetahuan dan cita rasa seni yang adiluhung terhimpun menjadi satu.
Kekaguman Baker menular pada saya saat ini. Bangunan megah itu kini menjulang di hadapan saya, begitu ramping dan anggun. Sebuah candi besar yang dikelilingi oleh sekitar delapan belas candi-candi kecil. Dari referensi yang saya baca,
sebenarnya ada sekitar empat ratus dua puluh candi yang berhasil diidentifikasi bagian-bagiannya. Namun, hanya delapan belas itulah yang berhasil direkonstruksi menjadi bangunan utuh.
Saya berkeliling di kompleks percandian yang luas ini, ditemani Mbak Dian, salah satu petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Perempuan berusia sekitar dua puluh tahunan yang manis dan energik. Keramahannya sudah terasa ketika saya mengontaknya minggu lalu melalui telepon.
“Kalau Mbak mau meliput sendratari Ramayana, Mbak harus muter dulu di Prambanan supaya lebih dapet feel-nya. Nanti saya temenin!” serunya penuh semangat.
Seperti halnya Borobudur dan candi besar lainnya di negeri ini, tak ada catatan tertulis yang secara pasti menyebutkan kapan mahakarya ini dibangun. Namun, sebuah prasasti berangka tahun 856 Masehi menyebutkan perihal pembangunan Syiwagraha atau Rumah Syiwa yang dilakukan dengan salah satunya memindahkan aliran Sungai Opak ke dekat bangunan itu.
Saya berdecak kagum. Tangan saya menelusuri satu demi satu guratan relief di badan candi. Adegan demi adegan epos Ramayana dan Krisnayana terpahat dengan apik dan sangat halus, terasa begitu hidup. Mata saya terhenti pada satu relief yang sangat menarik hati. Pada salah satu dinding panil menggambarkan sebuah pohon berhiaskan permata. Dua sosok burung berkepala manusia berdiri di bawahnya.
“Ini apa, Mbak Dian? Kok, unik sekali?”
“Itu kalpataru, Mbak. Motif ini banyak dijumpai pada relief candi di kompleks ini. Kalpataru ini pohon kehidupan, yang menandakan bahwa candi ini adalah milik langit, bukan milik bumi.”
“Eh, maksudnya gimana, Mbak?”
“Ini, Mbak," jemari perempuan lulusan arkeologi ini menunjuk pada sosok ganjil tadi.
“Kinara dan kinari, sepasang dewa musik ini bertugas memperindah kahyangan dengan nyanyian mereka. Yang ini lelaki dan yang ini perempuan.” sambungnya.
Ooh, ini toh dewa ternyata.
Terik matahari begitu menyengat tengah hari ini. Setelah mengitari candi-candi perwara, sebutan untuk candi-candi kecil tadi, kami kembali ke candi induk. Saya merapatkan diri ke salah satu dinding candi perwara yang terletak tepat di bawah bayang-bayang candi induk, mencari keteduhan.
Saya pernah membaca bahwa cara membedakan candi Buddha dan Hindu sebenarnya mudah sekali, cukup dengan melihat bentuk candinya. Candi yang bentuk arsitekturnya tambun dan pendek berarti candi Buddha, sedangkan candi Hindu umumnya berbentuk tinggi dan ramping. Benarkah demikian?
Mbak Dian menjelaskan bahwa candi-candi Hindu, salah satunya Prambanan, dibangun sesuai dengan filosofi luhur Hinduisme. Dalam tradisi arsitektur Hindu, bangunan induk candi dirancang menyerupai Mahameru, gunung suci yang dipercaya sebagai tempat bertahta pada dewa. Sementara, candi-candi perwara lainnya dibangun sebagai wujud representasi alam kehidupan, tempat manusia, hewan, dan tanaman lahir, tumbuh, dan mati dalam sebuah siklus.
Candi Prambanan, yang berdiri menjulang hingga empat puluh tujuh meter ini, dibangun sebagai Rumah Syiwa. Desain bangunannya merupakan perpaduan konsep keilahian dengan tidak menihilkan harmoni antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Filosofi yang begitu mendalam. Maknanya sama sekali tak sederhana.
Menurut cerita, Candi Prambanan dibangun oleh wangsa Sanjaya yang masih satu garis keturunan dengan wangsa Syailendra. Berbeda dengan Syailendra yang beragama Buddha, Sanjaya memeluk agama Hindu. Perbedaan keyakinan inilah yang membuat wangsa Sanjaya membangun Prambanan sebagai upaya menandingi kemegahan Borobudur sebagai jejak peradaban besar peninggalan Syailendra. Wah, perbedaan keyakinan ternyata nggak hanya mampu memisahkan dua hati, tetapi juga dua wangsa, batin saya.
“Saya nggak sepenuhnya setuju dengan cerita itu, lho, Mbak”
“Lho, kenapa, Mbak Dian? Memangnya cerita itu hoax, ya?” Saya berusaha melucu
“Kebenarannya masih belum jelas, Mbak. Lagipula, tak banyak orang tahu ada cerita mendalam di balik candi ini”
Jelas, saya penasaran dengan jawabannya.
“Kalau Mbak tahu, Candi Prambanan ini dibangun oleh Rakai Pikatan. Sedikit yang tahu bahwa candi ini menjadi salah satu saksi toleransi agama yang hidup subur pada masa itu.”
Istri Rakai Pikatan, Pramodhawardani, rupanya beragama Buddha. Cintanya yang mendalam kepada istrinya itu mendorong Rakai Pikatan membangun banyak candi beraliran Buddha di area yang sama. Oleh karena itu, tak heran jika saat ini kompleks Candi Prambanan tegak berdiri dikelilingi candi-candi Buddha seperti Candi Plaosan, Candi Lumbung, dan Candi Sewu. Karya besarnya memang Prambanan, tetapi ia dikelilingi oleh candi-candi Buddha, sebagaimana cintanya pada sang permaisuri.
---
Purnama menggantung di awan bagai kapas keperakan. Semburat sinarnya menerangi panggung raksasa yang didesain sedemikian rupa sehingga seolah menyatu dengan Candi Prambanan yang menjadi latar belakangnya. Alunan suara gending dan gemulai gerak penari membius kami, para penonton. Samar terlihat siluet bangunan candi yang menambah magis suasana. Keindahan yang begitu menyihir ini mengingatkan saya kembali pada definisi harmoni. Prambanan, pada masanya, pernah hidup berdampingan dalam harmoni dengan candi Sewu. Dua kelompok candi yang masyarakat pendukungnya pernah hidup dalam satu masa yang sama, sekalipun berbeda dalam keyakinan.
Hari ini saya melihat Prambanan dalam kacamata yang benar-benar berbeda. Sebuah pelajaran berharga yang mengantarkan pesan bahwa sebuah bentuk toleransi beragama pernah ditunjukkan oleh nenek moyang bangsa ini, ratusan tahun lalu. Sebuah pengingat bahwa multikulturalisme dan pluralisme bagi bangsa ini sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Sebuah pesan untuk kita renungkan bersama. Dapatkah semangat ini bisa terus hidup dan menghidupi benteng terhadap intoleransi yang belakangan tak henti mengoyak keindonesiaan kita? Tantangan ini perlu kita jawab bersama.
---
Hak cipta foto: www.cagarbudaya.kemdikbud.go.id
Komentar
Posting Komentar