Oke Saki Wangkung Rahong
Oleh: Shalihah S. Prabarani
---
Badan kami terguncang-guncang ketika mobil melintasi jalanan yang sempit dan rusak. Sejauh mata memandang hanya tampak semak belukar yang menyamarkan lembah-lembah terjal di kanan dan kiri jalan. Saya melirik ke arah Martinus yang fokus ke jalanan, mengagumi kelihaiannya membawa kami melewati kelokan-kelokan tajam. Martinus lahir dan besar di Manggarai, sehingga dia hapal betul setiap kelokan yang menyambut perjalanan kami menuju Kabupaten Manggarai Barat ini.
Saya bertemu Martinus dalam tugas liputan ekskavasi arkeologi di Liang Bua. Setelah liputan, pemandu saya ini bercerita bahwa desanya akan menyelenggarakan upacara adat yang sangat sayang untuk dilewatkan. “Kakak harus ke sana!” ujarnya penuh semangat.
Manggarai terletak di bagian barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Daerah ini dahulu hanya terdiri dari satu kabupaten, yang kemudian mekar menjadi tiga kabupaten. Kabupaten induk tetap bernama Manggarai dengan ibukota Ruteng. Kabupaten lainnya adalah Manggarai Barat yang beribukota di Labuan Bajo dan Manggarai Timur yang beribukota di Borong.
Verheijen, seorang peneliti antropologi dan linguistik Asia Tenggara, pernah mengatakan bahwa nenek moyang orang Manggarai suka mendirikan kampung di daerah perbukitan, dalam bahasa Manggarai disebut golo. Kata ini kemudian dipakai juga untuk menyebut kampung di Manggarai. Menurutnya, orang Manggarai melakukan itu dengan sengaja untuk menghindari orang-orang Sullu, Bajo, dan Tobelo yang sering menangkap dan menjadikan mereka budak. Pada masa dahulu, perbudakan atau taki mendi memang masih kerap terjadi. Umumnya budak-budak ini akan dijual atau dijadikan sebagai upeti untuk Kerajaan Gowa dan Bima.
“Masih jauh, enggak?” Punggung saya mulai terasa pegal.
“Sedikit lagi, Kak. Tiga pertigaan lagi, sampai kita.”
Saya menyipitkan mata, melihat ke jalan. Di luar hujan. Lintasan mulai tertutupi kabut, sehingga jarak pandang sangat terbatas.
Jarak dari Ruteng menuju Wangkung Rahong kurang lebih delapan puluh kilometer. Dengan kondisi jalan yang sebagian besar rusak, perjalanan memakan waktu tempuh kurang lebih tiga jam. Di tempat ini juga ada angkot, kata Martinus, tapi bentuknya berupa bus kayu, sebutan untuk truk dengan bak belakang berisi penumpang. Ongkosnya kurang lebih enam puluh ribu rupiah pulang-pergi.
Kami tiba di rumah Mama Bertha, demikian Martinus menyebut ibunya, ketika hari telah jauh malam. Kami akan bermalam di sini, lalu esok pagi turut serta ke ritual adat Oke Saki. Punggung saya rasanya seperti habis digebuki saking pegalnya. Kesadaran saya langsung lenyap tak lama setelah merebahkan diri ke lantai beralas tikar.
---
Pagi saya disambut sajian sarapan lengkap, seteko kopi Flores, dan cerita yang mengalun dari bibir Mama Bertha. Menurut ceritanya, sebagian besar warga Wangkung Rahong menganut agama Katolik sejak kedatangan para misionaris ratusan tahun silam. Meskipun begitu, kepercayaan nenek moyang masih betul-betul mereka jaga. Mereka percaya adanya Mori Keraeng, Tuhan Tertinggi. Ia adalah pengatur segala aspek terkecil kehidupan orang Manggarai. Jika ada adat yang dirusak, maka murkalah Ia.
Persis seperti yang saya baca dalam tulisan Kirchberger. Menurutnya, adat di dalam kehidupan masyarakat tradisional berfungsi sebagai pengatur keseimbangan kosmos. Alam semesta merupakan perwujudan keilahian. Sifatnya sakral. Dengan demikian, pelanggaran terhadap adat, entah dilakukan dengan sadar atau tidak, dianggap mengganggu keteraturan kosmos.
Konsepsi spiritual masyarakat Manggarai menunjukkan adanya hubungan multidimensi antara manusia, alam, dan Tuhan. Kerusakan relasi di antara ketiganya dapat mengakibatkan bencana. Begitulah yang dipercayai dari generasi ke generasi.
Mama Bertha menuturkan bahwa musim kering yang cukup panjang melanda desanya. Panen gagal, pasokan pangan berkurang. Tak lama kemudian, terjadi bencana tanah longsor yang menimpa empat desa, termasuk Wangkung Rahong. Tiga puluh empat warga tewas dan dua belas rumah rusak berat akibat kejadian itu.
“Kami percaya Mori Keraeng murka pada kami.”
Masyarakat Manggarai percaya bahwa rentetan kesusahan yang dihadapi adalah sebuah teguran atas rusaknya keseimbangan. Oleh karena itu perlu dilakukan ritual penyucian desa kembali, atau yang dikenal dengan Oke Saki de Beo. Sesuai namanya yang berarti membuang kotoran.
“Mama, ayo kita pergi ke cunga wae. Orang-orang sudah berangkat dari rumah gendang!” Martinus tampak terengah-engah berlari memanggil ibunya. Mama Bertha merapikan kainnya, lalu bergegas bangkit.
---
Dalam perjalanan menuju cunga wae atau pertemuan dua sungai, tampak warga berduyun-duyun. Mama Bertha menunjukkan sekelompok tetua yang tadi pagi mengadakan rapat di rumah gendang atau rumah adat. Di antara mereka terlihat Ata Mbeko, dukun yang bertanggungjawab memimpin ritual nanti. Setelah meminta izin ke tetua adat, saya memilih berdiri di sudut tepian agar bisa leluasa mengabadikan ritual tanpa mengganggu prosesnya.
Upacara Oke Saki dilakukan di pertemuan dua sungai agar segenap roh nenek moyang menyaksikan ritual mereka. Selain itu juga agar dosa dan kesalahan yang membuat Tuhan murka dapat dihilangkan oleh air sungai yang mengalir deras.
Ritual diawali dengan tudak manuk miteng, atau doa adat sembari memegang ayam hitam. Dalam kebudayaan Jawa, ayam ini disebut sebagai ayam cemani. Pemimpin doa memegang ayam, sementara dua orang lainnya membentangkan benang hitam yang dibawa dari rumah gendang. Saya tak memahami bahasanya, tetapi lamat-lamat mendengar kalimat “oke sanggen ndekok agu”. Di waktu kemudian saya diberitahu bahwa kalimat itu berarti “membuang semua dosa dan kesalahan kami dan nenek moyang kami.”
Seremoni berikutnya adalah cebong agu oke baju yang berarti mandi dan membuang baju kotor. Setelah tahapan ritual ini selesai, semua orang sudah mengenakan pakaian baru dan bersih. Ini merupakan simbol pembersihan diri dan pelepasan semua noda dan dosa.
Warga berarak kembali dari sungai menuju rumah gendang. Ritual berikutnya adalah cebong te ngelong yang berarti mandi supaya bersih. Tahapannya sama seperti ritual di sungai, bedanya pada ritual ini mengorbankan seekor ayam putih. Ritual ini sekaligus menutup rangkaian Oke Saki, sekaligus simbol bahwa seluruh warga kampung telah menyucikan dirinya. Doa-doa dipanjatkan dengan harapan agar warga Wangkung Rahong senantiasa dilindungi dan hidup dalam kesejahteraan.
---
Mama Bertha sedang menyiapkan santap siang ketika saya dan Martinus duduk berbincang di natas, atau teras rumah. Saya semakin paham bahwa adat dan budaya adalah dua hal yang saling terkait. Kearifan-kearifan lokal yang dipeluk erat oleh setiap pelaku budaya adalah kekayaan-kekayaan yang menjadi pedoman. Manusia tanpa budaya hanyalah sebuah ruang kosong. Jiwa-jiwa yang tanpa petunjuk.
Saya menutup tulisan sederhana ini dengan doa ritual Oke Saki yang diterjemahkan oleh Martinus dengan murah hati:
“Porom wa’a one waes laud, kolep canggu leso saled sanggen saki dami, kut di’a waca wakar agu nggelok beo dami.”
Semoga mengalir ke laut bersama sungai, terbenam bersama matahari semua dosa kami, sehingga jiwa dan kampung kami menjadi bersih kembali.
----
Hak cipta foto: radarflores.com
Komentar
Posting Komentar