Pesona Pasola di Nusa Cendana

 Oleh: Shalihah S. Prabarani


Wajah tegang para lelaki nyata terlihat di tengah riuhnya ringkik kuda bersahut-sahutan. Tangan mereka erat menggenggam lembing sepanjang satu setengah meter, lurus terhunus. Para ksatria dengan ikat kepala ini telah siap bertempur di padang Lamboya. 

Seorang ksatria maju ke tengah arena, melemparkan lembing kuat-kuat, memprovokasi lawannya. Dalam hitungan detik kemudian aksi balasan muncul dari pihak lawan. Pekikan panjang terdengar, melengking. Yel-yel bersahut-sahutan, begitu riuh dan memekakkan telinga.


Derap kaki kuda dan lengkingan suara saling meningkahi. Kepulan debu di tengah terik yang menderu menambah panasnya pertarungan. Para ksatria mengelilingi arena, mengacungkan lembing, tampak begitu gagah dan tak kenal rasa takut. Dahinya tergores lembing lawan, memerah darah. 


---


Saya berdiri di sudut arena, mengabadikan pertarungan yang begitu heroik itu. Sesekali saya berlari kecil menghindari lemparan lembing yang meluncur ke sana-sini. Ngeri sekali andai lembing itu salah sasaran dan mengenai penonton yang masih riuh berkerumun dengan antusiasme tinggi.


Angin kering Februari berhembus, sedikit mendinginkan peluh yang bercucuran. Saya merapatkan jaket, kembali merekam pertarungan yang masih berlangsung. Tak jauh dari saya, berdiri Papa Weka. Pemandu saya yang berasal dari Desa Wanokaka itu sesekali turut berteriak memeriahkan suasana.


Pasola, tradisi khas masyarakat Sumba yang populer dengan sebutan Nusa Cendana. Tradisi ini konon telah berlangsung selama ratusan tahun. Berasal dari kata “pa”yang berarti permainan, dan “sola” yang berarti lembing kayu. Tadi malam ketika kami berbincang, Papa Weka telah menjelaskan bahwa pasola merupakan ritual persembahan bagi masyarakat Sumba. Marapu, demikian mereka menyebutnya, merupakan sejenis animisme kuno yang menjadi falsafah dasar masyarakat Sumba dalam kehidupannya.


Terik matahari semakin terasa memanggang ubun-ubun kepala. Saya menyerah, berpindah ke bawah pepohonan rindang. Heran sekali, suasana begitu terik tetapi para penonton tak sedikitpun beringsut melainkan semakin ramai. Sorak sorai begitu gegap gempita setiap lembing terlempar dan mengenai badan lawan. Papa Weka menghampiri saya. Ia mengempaskan tubuhnya di atas rerumputan di sebelah saya, mengulurkan sebotol air mineral. Saya menggeleng sembari mengucapkan terima kasih, menunjukkan botol minum yang saya bawa dari penginapan tadi pagi. 


“Seru ya, Kak?” tanyanya, setelah menenggak setengah isi botol di tangan.


“Bukan seru lagi kalo begini, Pak. Saya cuma ngeri keserempet lembing itu aja, Pak,” setengah nyengir saya menjawab.


Menurut Papa Weka, pasola ini merupakan ritual kesuburan masyarakat Sumba yang dilakukan untuk menyongsong musim penghujan. Tanah Sumba dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyambut masa panen, dengan cara menumpahkan darah di tanahnya. Mendengar kata “menumpahkan darah” itu saya lantas teringat ritual-ritual yang sering saya tonton di film-film bertemakan kebudayaan Inca dan Maya. Darah ditumpahkan dari leher korban, membasahi altar batu, menyucikan dan menyuburkan tanah. Ternyata, imajinasi saya terlalu jauh. Ha-ha. Pasola, dalam tradisi Sumba, dilakukan sekadar untuk menggores atau melukai sedikit bagian tubuh dengan lembing kayu, sesuai arti namanya. 


“Orang itu disebut dengan rato, Kak, tetua adat kami.”


Tangan Pak Weka menunjuk kepada seorang lelaki berbaju setelan hitam dengan ikat kepala berwarna senada dan selendang kain berwarna putih terikat melingkari pinggangnya. Ia menaiki kuda berwarna putih dengan beragam hiasan etnik. Garis wajahnya terlihat tegas dengan rahang yang kukuh.


Rato, istilah Sumba untuk imamat, pemangku hukum dan adat yang menyangkut urusan kerohanian dan hal-hal yang bersifat ritual. Jabatan rato ini merupakan jabatan suci dan sakral karena dianggap sebagai tokoh pemegang hukum dan ilmu suci keilahian atau madauku. Golongan suci, bahasa sederhananya.


“Di tempat Bapak, ada pasola juga?”


“Tradisi kami di Wanokaka agak berbeda dengan Lamboya, Kak. Di Lamboya, rato akan mengelilingi arena sebanyak tiga kali untuk memulai dan mengakhiri ritual, sedangkan di desa kami sebanyak empat kali lalu ia melempar kayu hola-nya ke tanah di tengah arena. Ini supaya tidak banyak korban jatuh. Selain itu, di tempat kami disebutnya pahola, bukan pasola


Saya mengangguk-angguk. Lain lubuk lain ilalang, memang.


---


Suasana masih riuh, tetapi teriakan-teriakan sudah mulai berkurang. Matahari sudah tak seterik tadi. Mendung menggantung di antara perbukitan di sisi jauh. Sumba terkenal dengan perbukitannya yang hijau dan sawah-sawah yang menghampar bak permadani. Pesonanya begitu menyihir. 


Saya mengalihkan pandang ke arah kerumunan penonton. Tampak beberapa ksatria beristirahat dengan keringat mengucur. Terlihat lucu di mata saya karena pakaian mereka tampak beragam. Ada yang berpakaian adat, sementara ada pula yang memakai dalaman kaos bergambar artis dangdut terkenal. Pak Weka seperti melihat arah pandang saya, lalu tertawa. 


“Itulah salah satu tanda pergeseran budaya kami, Kak. Dahulu semua ksatria berkuda wajib memakai pakaian adat, sekarang sih sesuka-suka saja. Itu, ksatrianya berkuda tapi kaosnya bergambar ksatria bergitar.” 


Saya tertawa terbahak-bahak.


Perhelatan pasola ini diselenggarakan setahun sekali. Setiap orang akan keluar rumah memakai pakaian adat atau baju terbaiknya, berbondong-bondong menuju lapangan. Begitu juga yang saya lihat hari ini, persis seperti hari raya. Penonton muda-mudi datang dengan pakaian berwarna mencolok, celana jin, dan sepatu yang dianggapnya paling keren. Kacamata hitam bertengger di atas kepala dengan rambut licin bersisir rapi, sebagian malah diwarnai seperti bule-bule luar negeri. Sebagian lainnya tampil lebih manis, dengan rambut dikuncir atau diurai begitu saja dengan gaya silky smooth hair. Sepertinya memang mereka sengaja begitu karena gaya itu hanya dipakainya setahun sekali.


Ah, pasola, kisah ini harus diceritakan agar nanti orang-orang Indonesia datang sendiri ke sini, di tanah Sumba, membuktikan pesonamu. Saya termasuk beruntung bisa mengisahkan sedikit tentangmu.


---

Hak cipta foto: Tarko Sudiarno, The Jakarta Post.



Komentar

Postingan Populer