Luka Sejarah Sang Pangeran

 Oleh: Shalihah S. Prabarani


“Hari ini merupakan momentum yang bersejarah dengan kembalinya keris Pangeran Diponegoro sejak keluar dari tanah air kita, seratus lima puluh tahun yang lalu.” Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka, mengawali penuturannya dalam wawancara kami. Pameran modern “Pamor Sang Pangeran” baru saja dibuka hari ini dan rencananya akan digelar selama sebulan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Sesuai tajuknya, pameran ini bertujuan untuk mengenang salah satu pahlawan nasional kita, Pangeran Diponegoro.


Pernyataan beliau betul adanya. Pemerintah Indonesia, sepanjang penelusuran liputan saya, memang berkali-kali mengupayakan pemulangan artefak-artefak nusantara yang berserakan di luar negeri melalui jalur diplomatik. Sebagian di antaranya berhasil, termasuk repatriasi benda-benda peninggalan Pangeran Diponegoro yang dahulu disimpan oleh Pemerintah Belanda. 


Kuduk saya meremang ketika melangkah ke dalam area pameran keris Kiai Naga Siluman. Irama kidung Rumeksa ing Wengi yang mengalun lamat-lamat, merebakkan kengerian yang samar. Di sana, di dalam vitrin kaca, keris itu tegak berdiri. Terdiri dari sebelas luk, dengan gandik berbentuk kepala naga. Badan naga terlihat memanjang, melekuk mengikuti bilah keris. Warangkanya berbentuk ladrang, bersepuh warna keemasan. 


Di balik sebilah keris yang berbentuk cantik ini tersimpan kisah yang cukup tragis. Konon, keris ini dibawa ke Belanda oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, komandan pasukan Belanda dalam Perang Jawa. Keris ini ia hadiahkan kepada Raja Willem I sebagai tanda penaklukan Pangeran Diponegoro setelah Perang Jawa. 


Saya sontak teringat pada lukisan maestro Indonesia, Raden Saleh, yang saya lihat dalam liputan ke Museum Kepresidenan Yogyakarta. Lukisan ini, setahu saya, dibuat sebagai bentuk protes atas manipulasi yang dilakukan pihak Belanda melalui lukisan serupa yang dibuat Nicolaas Pieneman pada 1835. Jiwa nasionalisme Raden Saleh meradang, selain karena judul “Penyerahan” yang dipilih Pieneman juga penggambaran Diponegoro yang menurutnya sangat tidak sesuai. Raden Saleh kemudian melukis ulang peristiwa tersebut dari sudut lain. Ia memberinya judul “Penangkapan”, karena Pangeran Diponegoro memang tidak menyerahkan diri secara sukarela dalam peristiwa bersejarah itu, melainkan ditangkap dengan cara licik. Wajah pahlawan nusantara itu juga digambarkan dengan kepala tegak, garang, dan berwibawa. 


Jan Baptist Cleerens adalah utusan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Pangeran Diponegoro, dalam otobiografinya, menyebut kolonel Belanda itu sebagai “Kang tyas pan langkung pitajengipun.” Kalimat itu berarti bahwa Cleerens adalah “orang yang hatinya dapat dipercaya”.


Keyakinan itu yang membuat Diponegoro bersedia menemui Cleerens dalam sebuah negosiasi damai pada Februari 1830. Cleerens berhasil membujuk Pangeran Diponegoro untuk menerima undangan Jenderal de Kock dalam rangka silaturahmi dengan pangeran dari Jawa itu. Terpikat dengan gentlemen agreement yang diusung Cleerens, Pangeran Diponegoro kemudian menyerahkan keris Kiai Naga Siluman sebagai tanda kesepakatannya. Keris merupakan lambang martabat seorang laki-laki dalam budaya Jawa. Penyerahan keris itu berarti bahwa Pangeran Diponegoro memercayai lelaki Belanda itu sepenuhnya.


Minggu, 28 Maret 1830, beberapa hari menjelang Idulfitri, Pangeran Diponegoro bergerak dari Metesih. Pangeran yang bernama lahir Raden Mas Mustahar ini bertolak ke Magelang memenuhi undangan Hendrik Markus Baron de Kock di rumah residen Kedu. Pertemuan itu berlangsung dengan percakapan yang mengalir lancar. Di penghujung pertemuan, Jenderal de Kock tiba-tiba menahan Pangeran Diponegoro. Panglima Perang Jawa itu kemudian bertanya, “Mengapa saya tak diizinkan kembali? Saya hanya datang untuk beramah-tamah, seperti yang kebanyakan orang Jawa lakukan setelah puasa. Saya tak melakukan apapun di sini.” Percakapan ini saya baca dalam buku tulisan Peter Carey, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme.


Jelas, Diponegoro sebenarnya bisa saja melawan de Kock saat itu dengan mudah, tapi hal itu tak dilakukannya. Ia menahan diri. Ia merasa bahwa itu sikap yang sama sekali tak ksatria. Seorang pangeran keraton Yogyakarta Hadiningrat tak seharusnya mengamuk dan merendahkan dirinya. Saat itu juga kereta kuda residen Kedu membawanya menuju pengasingannya ke tanah Sulawesi. Menurut catatan Toby Alice, ia diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar. Di kota itulah ia menghabiskan sisa hayatnya bersama istri, dua anak, dan kedua puluh tiga pengikutnya sampai ia menutup mata pada 8 Januari 1855.


Kenyataan sejarah seringkali melukai kita, demikian yang saya pernah baca dari beberapa buku. Namun, selalu ada pelajaran yang bisa kita ambil. Sepahit apa pun. Seperti juga niat baik sang Pangeran yang dinodai oleh pengkhianatan atas nama perdamaian negeri. Jelas itu sangat melukai. Namun, peristiwa akhir Perang Jawa yang menyakitkan akibat pengkhianatan itu menjadi pelajaran bagi para pemimpin pribumi. Belanda tak pernah lagi dipercayai. Seluruh pemimpin pribumi selalu melekatkan prasangka pada setiap upaya perdamaian yang digagas Belanda. Prins Hendrik, putra bungsu Raja Willem II, bahkan menyebutkan bahwa pengkhianatan Belanda tersebut menjadi catatan sejarah mereka sebagai tragedi yang menjadi “noda dalam lambang Kerajaan Belanda”.


---


“Pameran ini memang kami rancang berbeda, Mbak,” Mbak Nusi, kurator pameran ini menjelaskan, ketika kami memasuki ruang pamer selanjutnya. “Kami menyatukan antara kekunoan dan kekinian. Kami ingin menyajikan perspektif baru, bahwa pameran tak sekadar narasi belaka,” tambahnya. Bersama Peter Carey, ia mengkurasi pameran ini untuk menyajikan kembali kepingan sejarah Pangeran Diponegoro untuk dapat menjadi memoar bagi bangsa ini. 


“Kami juga menampilkan sejumlah benda pusaka milik Pangeran Diponegoro lainnya, Mbak. Artefak-artefak ini merupakan hasil repatriasi dari Belanda pada 1978.” Kurator Museum Nasional ini menambahkan sembari menunjukkan sejumlah tombak, pelana kuda, dan payung kehormatan. Artefak terakhir yang dikembalikan ke pangkuan negeri kita adalah tongkat Kiai Cokro, tepatnya pada 2015.


Saya berdiri tertegun di depan hologram Sang Pangeran yang sedang bersama Kanjeng Kiai Gentayu, kuda kesayangannya, di ruang pamer terakhir yang saya kunjungi. Mata saya tak berkedip melihat figurnya yang tampak gagah dan tak mengenal rasa takut. Sosok pangeran yang menjunjung tinggi martabat dan kepentingan bangsanya harus takluk pada tindak pengkhianatan yang sungguh tercela.


Tiba-tiba saya teringat ujaran Samin Surosentiko dalam bukunya, Serat Uri-Uri Pambudi. 


“Tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar.”


Mungkin itulah yang ada di dalam benak Sang Pangeran ketika berhadapan dengan Jenderal de Kock. Ia menundukkan kemarahan yang mungkin saat itu menguasainya. Tunduk pada jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan atasnya. Penangkapannya saat itu mengakhiri Perang Jawa yang faktanya menguras keuangan Pemerintah Belanda habis-habisan. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah dan dikisahkan dari generasi ke generasi hingga ratusan tahun kemudian.


----


Hak cipta foto: antara.com


Komentar

Postingan Populer