NOVEL GAMPO DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS

NOVEL GAMPO DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS

Shalihah S. Prabarani

888 kata


Judul: Gampo

Penulis: Andre Donas

Penerbit: Komunitas Luar Kotak

Genre: Novel antropologis

Tebal Buku: 368 halaman

Tahun Terbit: November 2020

ISBN: 978-623-95216-0-8


Kampuang nan Jauah di Mato

Merasa familier dengan kalimat itu? Siapa yang tak mengenal suku Minangkabau atau Minang? Kelompok masyarakat ini lebih populer disebut sebagai Orang Padang. Sumber tertulis kuno mengatakan bahwa nama ini berasal dari kata “minangakamwa” atau Sungai (minang) kembar. Nama ini merujuk pada Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. 

Tak cuma itu, Prasasti Kedukan Bukit juga menyebut-nyebut nama “minangatamwan”. Kata ini mengacu pada peristiwa migrasi massal dari hulu Sungai Kampar pada masa Dapunta Hyang, 683 Masehi. Kelompok suku ini awalnya mendiami seluruh Sumatra bagian tengah pada abad ke-14, kemudian menyebar hingga hampir sebagian besar pulau. 

Secara sosiohistoris, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya adat Minang. Alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak. Ketiganya disebut sebagai Tungku Tigo Sajarangan. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan bercorak egaliter, semua masalah dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat. Adat dan budaya suku Minang bergantung pada ketiga pilar itu.

Andre Donas, penulis buku ini, adalah seorang putra Minang yang berlatar pendidikan arkeologi dan aktif berkecimpung di bidang kebudayaan. Ia menggali unsur-unsur kebudayaan Minangkabau dan menyuguhkannya secara apik melalui novel ini. Tulisan-tulisannya meramu serangkaian kisah perubahan sosial budaya di tanah Minangkabau dalam gaya sastra populer yang ringan untuk dibaca.

---

“Gampo… Ondeh mandeh, kampuang awak kanai Gampo!”

Novel ini dibuka dengan menuturkan kisah gempa besar yang melanda sebagian besar Sumatra Barat pada 2007. Getaran berkekuatan 5,8 skala richter itu merambat dari kedalaman segmen Sianok dan Sumani. Menggetarkan tanah yang menjadi tumpuan rumah gadang, meluluhlantakkan sebagian di antaranya. Dari sinilah kisah ini bermula.

Keruntuhan rumah gadang merupakan momok bagi urang Minang. Sejak dahulu, rumah gadang dipandang sebagai sentral kehidupan masyarakat yang kehidupannya berputar antara surau, lapau, dan rumah gadang. Proses internalisasi dan pewarisan nilai-nilai dilakukan di rumah gadang. Maka, jika rumah gadang runtuh, niscaya runtuh pula adat Minang yang luar biasa itu.

Falsafah Minang menyebutkan “Rumah Gadang basa batuah. Tiang banamo kato hakikat. Pintunya banamo dalil kiasan, banduanyo sambah-manyambah. Bajanjang naik batanggo turun. Dindiangnyo panutuik malu. Biliaknya aluang bunian.” Dalam bahasa Indonesia, falsafah itu berarti “Rumah gadang besar bertuah. Tiang bernama, kata hakikat. Pintunya bernama dalil kiasan, bandulnya sembah-menyembah. Berjenjang naik, bertangga turun. Dindingnya penutup malu. Biliknya peti penyimpan harta."

---

Urang Awak

Melalui tokoh Ando, Andre mengajak pembaca secara perlahan menelusuri budaya Minangkabau. Ando yang berdarah Minang pindah dari Jakarta ke Kota Padang, tanah kelahiran ibundanya. Kemiskinan yang mengimpit keluarganya memisahkan ia dari ibu dan keempat saudaranya yang lain, untuk kemudian diasuh oleh keluarga ibunya di Padang. Ia merasa terbuang.

Kemarahannya surut tatkala kekayaan budaya Minang membuatnya terpesona. Ia mereguk pengetahuan tentang Minang dari telaganya sendiri. Kecintaannya semakin bertambah, hingga suatu hari ia bertemu dengan gadis Minang bermata indah. Nami namanya.

---

Tarbiyah dan Kritik terhadap Epistemologi Barat

Cerita berayun ke masa Ando mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa. Gempuran buku-buku pemikir Islam yang sejalan dengan gerakan tarbiyah mulai marak di Padang. Epistemologi ini sedikit banyak turut mengubah paradigma mahasiswa dan para kaum intelektual Islam. Gerakan tarbiyah mulai memasuki kehidupan kampus dan menghasilkan kubu-kubu di tubuh mahasiswa. 

Perpecahan terjadi, begitu pula dengan hubungan Ando dan Nami. Puncaknya ketika Nami memberikan Ando dua pilihan sulit: bergabung dengan tarbiyah, atau merelakan Nami dinikahi pemuda kader tarbiyah. Bangsa ini telah lama terpecah belah oleh perbedaan pandangan politik dan ideologi. Ando kini berada di tengah-tengah situasi itu. Ia tak berkutik. Ia harus memilih apakah harus menyeberangi kedalaman jurang-jurang ideologi itu, atau tegak dalam pendiriannya.

---

Reformasi dan Hiruk Pikuk Sektarian

Bab keenam belas dari novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat di Padang pasca reformasi, yang menurut Ando melahirkan kesalehan dangkal kebangkitan Islam. Tren hukum syariat terbatas ditetapkan pada 2003, berupa tuntutan kemampuan membaca Al-Qur'an sebagai syarat kelulusan sekolah menengah. 

Menyusul kemudian terbitnya keputusan wali kota yang mewajibkan pemakaian jilbab di sekolah dan kantor pemerintahan. Perlahan provokasi bermunculan dan melahirkan berbagai sentimen-sentimen agama. Berbeda pandangan, Ando tetap berpegang bahwa prinsip-prinsip demokratis, egaliter, terbuka, dan resiprokasilah yang menjadi kekuatan adat Minang yang sesungguhnya. Menurutnya, prinsip ini lebih dari mampu untuk membentengi perubahan-perubahan sosial budaya yang mengarah kepada perpecahan.

---

Tentang Gampo

Novel ini menggunakan alur campuran, maju dan mundur. Meskipun begitu, penceritaannya lebih didominasi oleh alur mundur karena berbentuk flash back. Gaya bahasa yang digunakan penulis adalah campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Minang. Pembaca akan mudah memahami tuturan bahasa Minang karena dalam penulisannya disertakan terjemahannya. 

Statusnya sebagai urang awak serta pengalamannya bergelut di bidang kebudayaan menjadi kekuatan tersendiri penulis, didukung dengan kemampuannya mengemas secara apik novel budaya ini menjadi kisah yang sangat asyik untuk dinikmati. Gaya penulisannya mengingatkan saya pada Robohnya Surau Kami dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. 

Cerita yang sangat menarik dan dramatis menunjukkan kepada kita sejarah perkembangan sosial budaya masyarakat Minang, juga sisi-sisi yang selama ini luput dari sorotan media. Kisah-kisah perjuangan urang awak bertahan dari berbagai gempuran budaya luar dan modernisasi yang tak melulu membawa pengaruh positif.

Novel ini dianjurkan untuk dibaca oleh kalangan usia tujuh belas tahun ke atas, karena pada beberapa bagian menceritakan kehidupan rumah tangga, hubungan suami istri, dan hal-hal lain yang hanya patut dibaca oleh usia itu.

Terlepas dari itu, novel ini layak kita sambut sebagai angin segar dalam dunia kebudayaan. Memasyarakatkan kebudayaan, dan membudayakan masyarakat. Salut! Selamat Hari Buku Internasional!


Tangerang Selatan, 23 April 2021


Komentar

Posting Komentar