Ramadan, Hukum Gossen, dan Rasa Syukur
Ramadan, Hukum Gossen, dan Rasa Syukur
Shalihah S. Prabarani
Setiap Ramadan tiba, pola lama selalu berulang lagi, lagi, dan lagi,
seperti siklus. Menahan lapar seharian, lalu ibarat Tazmanian Devil yang
dilepas setelah diikat, membabi buta di meja makan selepas azan Magrib
berkumandang. Antara lapar perut dan lapar mata sudah tiada lagi beda. Selesai
makan besar tancap gas, lalu badan, khususnya perut, jadi terasa super berat.
Terbitlah rasa malas untuk bergerak, belum lagi kantuk yang mengganduli mata
akibat perut yang kekenyangan. Namun, bukan itu yang hendak saya kupas di sini.
Ada berapa macam menu yang kita sajikan di hari-hari Ramadan? Benarkah
sudah sesuai dengan kebutuhan nutrisi, atau hasil dari berburu sembari
ngabuburit di pasar-pasar kaget? Hayoo, ngaku, deh.
Lantas, berapa banyak yang berhasil ditampung perut? Apakah hidangan
tandas tak bersisa? Atau, malah ada yang berakhir dengan sia-sia?
Ibu saya dulu pernah bilang, makanlah seperlunya. Tubuh kita secara
ajaib sudah punya mekanisme tersendiri ketika tindakan kita sudah melampaui
parameter. Melalui rasa begah, mual, atau sesak napas, indikator yang begitu
mudah dikenali tetapi seringkali kita abaikan. Nah, yang terakhir ini mungkin
sering terjadi, ya? Engap, kalo kata orang Betawi.
Saya teringat teori pada Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi. Lho, apa
hubungannya sama Ramadan? Ya, kurang lebih persis sama. Semakin banyak konsumsi
kita atas produk yang sama, kenikmatan yang kita rasakan grafiknya akan
berbanding terbalik, justru akan semakin menurun dan lama-kelamaan hilang.
Bukankah kalau kita makan terus-terusan, selain perut rasanya sudah mau
meledak, rasa makanan pun perlahan akan menjadi bland atau hambar? Engap, dan
eneg.
Pengaturan segala sikap dan tindakan sudah dirancang sedemikian rupa
oleh agama. Jika kita dianjurkan untuk makan seperlunya, hanya makan ketika
lapar dan berhenti sebelum kenyang, hal itu tak hanya untuk kebaikan kesehatan
semata, tetapi juga untuk menjaga kenikmatan atas makanan itu. Bukankah dari
kenikmatan maka akan terbit rasa syukur? Bukankah kita cenderung lebih mudah bersyukur
ketika diberikan nikmat, daripada ketika menerima musibah? Ah, tapi dasar kita,
seringkali kalau sudah di depan hamparan beragam menu berbuka, lupa sudah
mensyukuri hal-hal sesederhana "Alhamdulillah, masih dikasih napas sampai
Magrib tiba." Main hajar saja, mengedepankan nafsu dan perut yang sudah
meronta-ronta.
Semua yang berlebihan itu tak baik. Begitu semua agama mengajarkan. Saya
pun tak alim-alim betul orangnya, tetapi saya setuju dengan ajaran itu.
Jangankan makanan, dihujani kalimat cinta dan rindu yang berhamburan tak
terkontrol saja seringkali bikin kita eneg dan muak, bukan? Eh, kalau udah
bucin mah lain cerita, ya? Saya kadang begitu, sampai pernah unfollow satu akun
di Facebook karena setiap hari postingannya tentang cinta. Ngabucin pisan, euy. Bisa
kena diabetes saya kalau baca kalimat-kalimat manis yang berhamburan macam
lapisan tebal gula halus pada kue putri salju itu.
Selamat berpuasa, ya. Jangan lupa untuk menahan diri. Ini pesan untuk
saya sendiri juga sih, soalnya sore ini saya sudah memesan konro bakar dan es
kacang merah untuk menu berbuka puasa. Duh, tahaaan ... tahaaan ...
Tangerang Selatan, 17 April 2021
Komentar
Posting Komentar