Au Revoir
Kau menghidu secangkir kopi dengan hidungmu yang
ramping, lalu menyesapnya perlahan. Matamu yang dinaungi bulu lentik panjang
itu terpejam, aroma wanginya pasti begitu membiusmu. Cahaya lampu kafe yang
kekuningan jatuh pada rambut sewarna tembaga keemasan yang membingkai cantik
parasmu. Kelembutan yang kontras dengan matamu yang selalu tampak sedih, seakan
parade kematian menyeret siapapun yang tenggelam pada kedalaman maniknya.
Genap sepekan berturut-turut sudah kau datang
sesaat setelah grandfather clock kafe
ini berdentang tujuh kali. Tubuh mungilmu akan muncul di pintu, dengan mantel
panjang berwarna bata yang serasi dengan sepasang boots yang membungkus kakimu. Selesai memesan kopi, kau akan memilih
menyendiri di meja sudut. Tersembunyi di balik riuhnya pengunjung, tetapi cukup
leluasa untuk memandangi lalu lalang Parisian
dari balik jendela. Kau letakkan tas tangan kecilmu di atas meja, lalu duduk
tenang berjam-jam lamanya. Meja yang sama, dan kopi yang sama. Selalu rutinitas
yang sama.
Secangkir café
au lait itu sudah tak lagi hangat setelah beberapa lama kau duduk di sana.
Kaulayangkan pandang ke luar jendela. Matamu begitu sendu. Dengan gelisah
kautatap sekali lagi jam yang melingkari pergelangan tanganmu, sebelum kemudian
kauhela napas. Malam ini kau tampak berbeda, sedikit pucat dan terlihat lelah.
Dua jam berlalu. Seseorang terlihat berjalan menuju
mejamu. Lelaki berusia dua puluhan dengan tubuh kurus dan agak bungkuk.
Mendekatimu, lalu memanggil sebuah nama. Kau menengok segera dengan mata
berbinar yang sedetik kemudian berubah layu ketika mendapati seseorang yang
bukan kau tunggu. Pemuda itu mengulurkan secarik kertas kusut yang kau terima
dengan mata dipenuhi tanda tanya. Setelah mengangguk sopan, pemuda itu pergi.
Kaubuka tergesa lipatan kertas lalu membaca pesan
di dalamnya. Wajahmu terlihat lebih sedih. Kelopak-kelopak bunga gugur perlahan
dari matamu yang pejam. Riuh percakapan dan pekikan kecil pengunjung lainnya
seolah tak kaudengar. Matamu terus saja menatap cangkir kopi yang telah kosong
seolah tertambat erat di sana, walau anganmu tampak berkelana jauh. Entah
tentang apa, atau siapa. Tampaknya, penantianmu usai sudah seiring hati yang
perlahan patah. Wajahmu begitu berkabut, seolah berkata bahwa kau tak akan lagi
menunggu.
“Bonsoir, Mademoiselle. Apakah kopinya mau
ditambah?”
Kau mendongakkan kepala. Mata hazel-mu menatap pelayan yang datang memecahkan sunyi lamunan. Lesung
pipi muncul seiring senyum yang mengulas tipis. Rambut yang terkibas lembut
ketika kepalamu menggeleng begitu menggemaskan, begitu memesona.
“Merci”
Malam semakin lengang ketika butiran salju turun
satu-satu diterpa cahaya lampu taman yang suram. Kau rapatkan mantel panjangmu,
melongok sebentar ke luar pintu sebelum kemudian melangkahkan kaki. Kepedihan
terasa lekat membayangimu seperti langit musim dingin Paris yang pekat kelabu. Jejakmu
tertinggal pada jalanan Montmarte yang beku, bersama dengan janji kekasihmu
yang bermuara pada semu.
Jakarta, 14 Januari 2021
Komentar
Posting Komentar