New Normal, New Spirit
Tagar #newnormal sudah mulai bertebaran di berbagai platform media sosial, tak lama setelah pemerintah mengajak masyarakat untuk dapat “berdamai” dengan Corona. Baru tiga bulan yang lalu sejak angka korban pandemi Covid-19 mulai melonjak tajam, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar mulai diberlakukan. Sekolah dan kantor ditutup, pasar dan pusat perdagangan dibatasi. Semua aktivitas dipindahkan ke rumah masing-masing. Intinya, semua diminta berdiam di rumah dan mematuhi imbauan PSBB tersebut. Kalian juga, kan?
Masa itu, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan serupa, walau tidak sepopuler sebutan masa kini: lockdown dan PSBB. Masyarakat sebagian ada yang mematuhi aturan itu, sementara sebagian lagi memilih abai dan tetap saja melancong sesukanya. Akibatnya, korban jiwa saat itu mencapai satu juta lebih. Pemerintah dibuat sakit kepala jadinya. Mengingatkan kita pada masa kini, bukan?
Kembali ke perubahan tatanan sosial masyarakat selama masa pandemi, apa sajakah yang berubah?
Satu, sistem pendidikan. Zaman dulu kita cukup berpakaian rapi, mengikuti aturan yang ditetapkan sekolah, dan mendapatkan nilai yang baik untuk dapat lulus atau naik kelas. Di masa pandemi ini, nilai kita ditentukan oleh ketersediaan perangkat telepon seluler dengan spesifikasi tertentu dan kecepatan jaringan internet. Bayangkan ketika sedang sekolah atau kuliah daring, lalu tiba-tiba internetmu terputus karena paket data habis, mau ‘nangis nggak tuh rasanya? Di sisi lain bagi mahasiswa, sistem pendidikan semacam ini sangat menguntungkan. Kapan lagi bisa kuliah sambil bikin kopi, mengupil, atau bahkan main game online komputer? Hmmm, ‘ngaku aja deh.
Dua, dunia usaha. Sistem perdagangan yang semula mengandalkan sistem tatapmuka, sekarang beralih ke sistem daring. Kita bisa memesan apa pun melalui aplikasi di telepon seluler, termasuk semur jengkol Mpok Oneng. Dunia seperti dalam genggaman. Meski begitu, jangan lupa tetap rutin mengecek saldo rekeningmu, ya. Semakin sering abang ojek mengantar paket ke depan rumahmu, akan semakin besar pula peluang menipisnya tabunganmu.
Tiga, kehidupan asmara. Uhuy! Banyak
kita temukan pasangan yang menikah di masa pandemi ini. Berbagai alasan
diungkapkan, tapi yang paling menarik adalah faktor “karena lebih irit”. Betapa
tidak, pernikahan bisa diundangkan melalui media daring. Tanpa perlu ada beragam
menu katering karena undangan sekadar keluarga atau kawan-kawan dekat saja. Tak
perlu pesta mewah meriah di gedung, karena ujung-ujungan bakalan digeruduk
satpol pp. Sayang kan, bayar gedung mahal kalau cuma dipakai satu atau dua jam
prosesi ijab kabul saja?
Nah, sekarang pindah nih ke
pasangan yang belum menikah. Siapa hayo, yang selama pandemi ini terpaksa harus
menghabiskan hari-hari berkalang rindu? Semua rasanya serba salah. Mau nelepon
boros, tapi mau nggak nelepon kok ya rindu. Mau pacaran, eh bioskop, mal, dan
kafe ditutup. Masa iya, mau pacaran di warkop? Yang pacaran normal jadi berasa
LDR. Yang LDR makin susah ketemuan karena PSBB diberlakukan. Yang sabar, harus
ikhlas pengeluaran membengkak untuk pulsa dan paket data. Yang nggak kuat,
terpaksa mengakhiri hubungan.
Selain itu, ada istilah baru yang
lahir akibat carut-marut hubungan asmara selama pandemi ini, yaitu Zumping. Apa
itu, ya? Dari berbagai referensi dan kesaksian korbannya, zumping berarti
memutuskan hubungan dengan pacar melalui video call, salah satunya Zoom. Ibarat
sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah memendam rindu akibat physical
distancing, masih kena diputusin pula. Hmm, ternyata pandemi tak hanya
melahirkan korban PHK, melainkan juga mencetak jomlo-jomlo baru.
***
Kembali
ke tagar New Normal New Spirit, yang belakangan ramai sekali di Twitter. Berbagai
sektor sudah tampak menyiapkan diri. Jalanan sudah mulai ramai akibat
kantor-kantor dan pertokoan mulai dibuka kembali. Konon, ide New Normal ini
digaungkan untuk mengembalikan kehidupan sosial dan ekonomi negara, dengan
tetap mematuhi protokol kesehatan.
Kehidupan
(diharapkan) akan berjalan normal. Kita akan kembali menjumpai orang-orang
berlalu lalang di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan, tentunya dengan masker di
wajah. Yang biasanya sewot melihat pasangan bergandengan atau saling sandar,
kali ini boleh berlega hati. Yang terbiasa pakai baju couple, kali ini bolehlah
kreatif dengan memesan masker couple. Bahkan, bisa jadi seserahan nantinya
bukan lagi berisi produk kosmetik atau baju tidur seksi, melainkan seperangkat
masker dan hand sanitizer.
Kita yang
biasanya mendengar para kaum adam bergunjing, “cakep ih, sayang dandannya
menor,” akan berubah menjadi “oke sih dia, tapi sayang nggak maskeran”, dan
banyak andai-andai lainnya.
Berbagai
rancangan kebijakan sudah mulai diperbincangkan berbagai kalangan. Hal itu
sangat mudah dipahami, mengingat masyarakat tentunya khawatir dengan angka statistik
korban Covid-19 yang tampaknya belum mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Dalam hal ini, pemerintah ingin agar masyarakat bisa tetap produktif sekaligus
merasa aman di waktu yang bersamaan. Sistem pengendalian penerapan protokol
kesehatan diatur sedemikian rupa dalam rangka pemberlakuan program New Normal.
Realokasi anggaran di berbagai bidang telah dilakukan, dalam rangka penanganan
pandemi. Pendekatan berbasis komunitas dilakukan dengan harapan semua lini
masyarakat bisa mematuhi kebijakan dengan mengindahkan protokol kesehatan.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, melalui konferensi pers daring Badan Nasional
Penanggulangan Bencana 9 Juni lalu, menyatakan bahwa tahun ajaran baru tetap
dimulai Juli nanti. Walaupun begitu, bukan berarti sistem tatapmuka akan langsung
diterapkan, karena masih dikaji ulang oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19. Kebijakan ini tak hanya mampu menenangkan orangtua yang belum siap
melepas putera-puterinya di tengah badai pandemi ini, tapi juga kaum rebahan
yang masih enggan kembali ke bangku pendidikan.
Hingga
saat ini belum ada keterangan pasti sampai kapan kebijakan larangan mudik dan
bepergian akan terus diberlakukan, meski transportasi umum sudah boleh
beroperasi kembali. Mungkin saja itu berarti wakuncar boleh kembali dilakukan,
asal tidak disertai berpelukan atau sekadar bergandengan. Untuk saat ini memang
kalimat “sebotol hand sanitizer berdua” rasanya lebih romantis, terutama setelah
harganya sempat melangit melebihi paket hemat makan berdua di kantin universitas.
Semoga
saja pandemi ini segera usai, ya. Saya sendiri sih, lebih memilih berdampingan
dengan pasangan daripada disuruh berdampingan dengan Corona. Kamu sependapat,
kan?
Komentar
Posting Komentar