New Normal, New Spirit

Tagar #newnormal sudah mulai bertebaran di berbagai platform media sosial, tak lama setelah pemerintah mengajak masyarakat untuk dapat “berdamai” dengan Corona. Baru tiga bulan yang lalu sejak angka korban pandemi Covid-19 mulai melonjak tajam, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar mulai diberlakukan. Sekolah dan kantor ditutup, pasar dan pusat perdagangan dibatasi. Semua aktivitas dipindahkan ke rumah masing-masing. Intinya, semua diminta berdiam di rumah dan mematuhi imbauan PSBB tersebut. Kalian juga, kan?

 Rupanya, Corona benar-benar mampu memorakporandakan tatanan sosial yang telah terbangun rapi sejak ratusan tahun hanya dalam hitungan bulan. Dari beberapa sumber sejarah, diketahui bahwa situasi serupa pernah terjadi pada tahun 1918 ketika merebak pandemi akibat Flu Spanyol. Satu abad silam, bayangkan!

Masa itu, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan serupa, walau tidak sepopuler sebutan masa kini: lockdown dan PSBB. Masyarakat sebagian ada yang mematuhi aturan itu, sementara sebagian lagi memilih abai dan tetap saja melancong sesukanya. Akibatnya, korban jiwa saat itu mencapai satu juta lebih. Pemerintah dibuat sakit kepala jadinya. Mengingatkan kita pada masa kini, bukan?

 ***

Kembali ke perubahan tatanan sosial masyarakat selama masa pandemi, apa sajakah yang berubah?

Satu, sistem pendidikan. Zaman dulu kita cukup berpakaian rapi, mengikuti aturan yang ditetapkan sekolah, dan mendapatkan nilai yang baik untuk dapat lulus atau naik kelas. Di masa pandemi ini, nilai kita ditentukan oleh ketersediaan perangkat telepon seluler dengan spesifikasi tertentu dan kecepatan jaringan internet. Bayangkan ketika sedang sekolah atau kuliah daring, lalu tiba-tiba internetmu terputus karena paket data habis, mau ‘nangis nggak tuh rasanya? Di sisi lain bagi mahasiswa, sistem pendidikan semacam ini sangat menguntungkan. Kapan lagi bisa kuliah sambil bikin kopi, mengupil, atau bahkan main game online komputer? Hmmm, ‘ngaku aja deh.

Dua, dunia usaha. Sistem perdagangan yang semula mengandalkan sistem tatapmuka, sekarang beralih ke sistem daring. Kita bisa memesan apa pun melalui aplikasi di telepon seluler, termasuk semur jengkol Mpok Oneng. Dunia seperti dalam genggaman. Meski begitu, jangan lupa tetap rutin mengecek saldo rekeningmu, ya. Semakin sering abang ojek mengantar paket ke depan rumahmu, akan semakin besar pula peluang menipisnya tabunganmu.

 

Tiga, kehidupan asmara. Uhuy! Banyak kita temukan pasangan yang menikah di masa pandemi ini. Berbagai alasan diungkapkan, tapi yang paling menarik adalah faktor “karena lebih irit”. Betapa tidak, pernikahan bisa diundangkan melalui media daring. Tanpa perlu ada beragam menu katering karena undangan sekadar keluarga atau kawan-kawan dekat saja. Tak perlu pesta mewah meriah di gedung, karena ujung-ujungan bakalan digeruduk satpol pp. Sayang kan, bayar gedung mahal kalau cuma dipakai satu atau dua jam prosesi ijab kabul saja?

 

Nah, sekarang pindah nih ke pasangan yang belum menikah. Siapa hayo, yang selama pandemi ini terpaksa harus menghabiskan hari-hari berkalang rindu? Semua rasanya serba salah. Mau nelepon boros, tapi mau nggak nelepon kok ya rindu. Mau pacaran, eh bioskop, mal, dan kafe ditutup. Masa iya, mau pacaran di warkop? Yang pacaran normal jadi berasa LDR. Yang LDR makin susah ketemuan karena PSBB diberlakukan. Yang sabar, harus ikhlas pengeluaran membengkak untuk pulsa dan paket data. Yang nggak kuat, terpaksa mengakhiri hubungan.

 

Selain itu, ada istilah baru yang lahir akibat carut-marut hubungan asmara selama pandemi ini, yaitu Zumping. Apa itu, ya? Dari berbagai referensi dan kesaksian korbannya, zumping berarti memutuskan hubungan dengan pacar melalui video call, salah satunya Zoom. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah memendam rindu akibat physical distancing, masih kena diputusin pula. Hmm, ternyata pandemi tak hanya melahirkan korban PHK, melainkan juga mencetak  jomlo-jomlo baru.

 

***

 

Kembali ke tagar New Normal New Spirit, yang belakangan ramai sekali di Twitter. Berbagai sektor sudah tampak menyiapkan diri. Jalanan sudah mulai ramai akibat kantor-kantor dan pertokoan mulai dibuka kembali. Konon, ide New Normal ini digaungkan untuk mengembalikan kehidupan sosial dan ekonomi negara, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

 

Kehidupan (diharapkan) akan berjalan normal. Kita akan kembali menjumpai orang-orang berlalu lalang di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan, tentunya dengan masker di wajah. Yang biasanya sewot melihat pasangan bergandengan atau saling sandar, kali ini boleh berlega hati. Yang terbiasa pakai baju couple, kali ini bolehlah kreatif dengan memesan masker couple. Bahkan, bisa jadi seserahan nantinya bukan lagi berisi produk kosmetik atau baju tidur seksi, melainkan seperangkat masker dan hand sanitizer.

Kita yang biasanya mendengar para kaum adam bergunjing, “cakep ih, sayang dandannya menor,” akan berubah menjadi “oke sih dia, tapi sayang nggak maskeran”, dan banyak andai-andai lainnya.

 

Berbagai rancangan kebijakan sudah mulai diperbincangkan berbagai kalangan. Hal itu sangat mudah dipahami, mengingat masyarakat tentunya khawatir dengan angka statistik korban Covid-19 yang tampaknya belum mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dalam hal ini, pemerintah ingin agar masyarakat bisa tetap produktif sekaligus merasa aman di waktu yang bersamaan. Sistem pengendalian penerapan protokol kesehatan diatur sedemikian rupa dalam rangka pemberlakuan program New Normal. Realokasi anggaran di berbagai bidang telah dilakukan, dalam rangka penanganan pandemi. Pendekatan berbasis komunitas dilakukan dengan harapan semua lini masyarakat bisa mematuhi kebijakan dengan mengindahkan protokol kesehatan.  

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui konferensi pers daring Badan Nasional Penanggulangan Bencana 9 Juni lalu, menyatakan bahwa tahun ajaran baru tetap dimulai Juli nanti. Walaupun begitu, bukan berarti sistem tatapmuka akan langsung diterapkan, karena masih dikaji ulang oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Kebijakan ini tak hanya mampu menenangkan orangtua yang belum siap melepas putera-puterinya di tengah badai pandemi ini, tapi juga kaum rebahan yang masih enggan kembali ke bangku pendidikan.

 

Hingga saat ini belum ada keterangan pasti sampai kapan kebijakan larangan mudik dan bepergian akan terus diberlakukan, meski transportasi umum sudah boleh beroperasi kembali. Mungkin saja itu berarti wakuncar boleh kembali dilakukan, asal tidak disertai berpelukan atau sekadar bergandengan. Untuk saat ini memang kalimat “sebotol hand sanitizer berdua” rasanya lebih romantis, terutama setelah harganya sempat melangit melebihi paket hemat makan berdua di kantin universitas.

Semoga saja pandemi ini segera usai, ya. Saya sendiri sih, lebih memilih berdampingan dengan pasangan daripada disuruh berdampingan dengan Corona. Kamu sependapat, kan?


Komentar

Postingan Populer