Jangan Jadi Covidiot

Belakangan, ada satu istilah baru yang mencuat di berbagai media, yaitu Covidiot.

Menurut Urban Dictionary, istilah ini berarti “someone who ignores the warnings regarding public health or safety”. Secara etimologis, kata yang muncul di masa pandemic Covid-19 ini terbentuk dari “Covid” dan Idiot, dipakai untuk mendeskripsikan seseorang yang menabrak aturan penjarakan sosial dan karantina wilayah (lockdown).

Sejak pandemi Corona merebak pertama kali di negeri ini, berbagai kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk menekan angka pasien terjangkit sekaligus mencegah penularan yang lebih luas. Instansi pemerintahan, pendidikan, dan pusat-pusat interaksi publik ditutup. Pembatasan diberlakukan pada beberapa sektor, misalnya transportasi dan ekonomi. Kegiatan Belajar Mengajar dilakukan di rumah, begitu juga aktivitas perkantoran. Keberlangsungan jalannya roda aktivitas dilakukan melalui sistem teleworking, atau istilah dalam bahasa kita “jarak jauh”.

Apakah kebijakan ini berhasil? Belum sepenuhnya.

Masih banyak kita jumpai orang-orang berdesakan di ruang-ruang publik dan tempat-tempat wisata. Banyak yang masih seenaknya berjalan-jalan, berkumpul dengan teman-teman sekadar untuk ‘ngobrol ngalor ngidul, atau saling berkunjung ke rumah kawan atau kerabat.

Ironis rasanya melihat kenyataan ini di tengah perjuangan para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang berjibaku menangani para pasien yang terinfeksi Covid-19. Di sisi lain, banyak warga yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk menafkahi keluarga. Kenyataan yang terkesan sebagai hal remeh bagi para Covidiot ini.

***

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (8/6) lalu memperingatkan bahwa pandemi secara global akan memburuk, disusul data penambahan kasus penularan tertinggi di Amerika baru-baru ini.

Sejumlah negara tercatat mulai melonggarkan kebijakan pembatasan dengan membuka kembali beberapa sektor pendukung perekonomian, salah satunya Indonesia. Masa karantina wilayah yang telah berlangsung selama tiga bulan terbukti meruntuhkan berbagai bisnis, akibatnya jutaan orang kehilangan pekerjaan.

Terbukanya kembali berbagai akses secara terbatas, misalnya sektor transportasi, tentunya cukup mengkhawatirkan di tengah-tengah berita kenaikan angka penularan tersebut.

Pandemi global Covid-19 belum menunjukkan grafik menurun yang cukup signifikan. Data statistik menunjukkan bahwa hingga Rabu (10/6) lalu, virus ini telah merenggut 414.258 jiwa dan menulari 7.347.812 orang di muka bumi ini sejak pertama kali merebak di Wuhan, Cina, pada Desember 2019.

Angka kenaikan paparan virus ini melonjak cukup signifikan pada minggu-minggu perayaan Idul Fitri. Tercatat lebih dari seribu orang terjangkit setiap harinya, data tertinggi yang pernah terekam.

Banyak orang yang memaksa mudik ke kampung dengan alasan silaturahmi, mengabaikan aturan yang memaksa warga untuk tetap tinggal di rumah demi menekan angka penularan. Herannya, sekelompok Covidiot ini selalu banyak akalnya, mengelabui petugas yang berupaya menegakkan aturan dan melakukan penertiban. Agaknya, sebagian besar sepakat bahwa pelanggaran peraturan tersebut tidak jadi mengapa demi bertemu dengan keluarga. Tanpa mengindahkan fakta bahwa tidak terlepas kemungkinan justru merekalah pembawa virus tersebut, dan berpotensi menulari keluarganya.

Amalia E. Maulana, Brand Manager & Ethnographer telah melakukan riset untuk mengenali gaya perilaku masyarakat Indonesia di masa pandemi Covid-19 ini. Melibatkan 609 responden, penelitian tersebut menyatakan bahwa dari keseluruhan data yang diolah ditemukan adanya kelompok egosentris yang menempati grafik sebanyak 3%. Golongan ini disebut juga sebagai “Covidiot”. Mereka ini secara negatif tetap bertahan dengan kebiasaan lama sebelum adanya pandemi.

Sikap mental yang sangat egois ini jelas merugikan orang lain, misalnya dengan tetap berkerumun dan enggan menjaga jarak. Contoh lainnya adalah mereka yang dikenai kebijakan belajar dan bekerja dari rumah. Alih-alih mematuhi protokol kesehatan yang telah digaungkan, mereka justru jalan-jalan keluar rumah, pergi berlibur, bahkan pulang kampung.

***

Beberapa waktu lalu, media sosial memberitakan bahwa sikap mental ini justru ditunjukkan oleh mereka yang disebut “influencer”. Misalnya, tren menjilat dudukan toilet umum yang dipopulerkan sebagai “Corona Challenge” oleh seorang influencer asal California, yang kemudian ditiru oleh banyak anak muda di berbagai belahan dunia lainnya. Belum lekang dari ingatan kita, salah seorang influencer anak negeri ini yang dengan entengnya menyebut virus Corona ini dengan “B saja” alias hal yang sepele.

Pada salah satu video bincang santai yang diunggah, anak muda yang mengawali popularitasnya sebagai beauty influencer ini menyatakan tak melihat adanya urgensi memakai masker atau mencuci tangan. Fakta ini sangat disayangkan, mengingat influencer ini memiliki lebih dari satu juta pengikut di salah satu akun media sosialnya. Bayangkan jika ada seribu orang saja yang mengikuti apa yang dia nyatakan, berapa di antara mereka yang berpotensi menyebabkan ledakan pasien yang ujung-ujungnya tak tertangani oleh tenaga kesehatan kita? Sungguh mengherankan. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang bebal ini.

Lalu, bagaimana cara membantu penekanan laju angka penularan Covid-19?

Sederhana saja, tetaplah berada di rumah kecuali memang tidak ada pilihan lain, demi menafkahi keluarga misalnya. Membiasakan diri disiplin dengan protokol kesehatan juga penting dalam memproteksi diri dan keluarga. Dengan demikian, kita bisa membantu perjuangan memerangi pandemi ini dari lini terkecil, yaitu diri sendiri,

Mengutip kata Dian Sastro, yang lebih akrab dipanggil Disas, dari laman Instagram-nya, “Jika kamu ingin membantu Indonesia, tapi passion kamu adalah rebahan, ini kesempatan kamu”

Jadi, jangan jadi Covidiot, yuk!


Komentar

Postingan Populer